14 Mei 2015

ASEAN Harus Ambil Langkah Tegas Selesaikan Masalah Pengungsi Rohingya


JAKARTA (13/5) – Gelombang pengungsi etnis Rohingya dari Myanmar kembali tiba di Indonesia. Mereka berlabuh di Aceh setelah berminggu-minggu terapung di lautan dengan kapal nelayan. 

Ribuan orang Rohingya ini merupakan pengungsi yang lari dari negaranya karena penindasan politik dan diskriminasi etnis yang berlangsung selama bertahun-tahun. 

Anggota Komisi I DPR Ahmad Zainuddin sangat prihatin dengan masalah kemanusiaan yang terjadi di Myanmar. Menurutnya, masalah Rohingya sampai saat ini tidak kunjung selesai karena kurangnya perhatian Association of Southeast Asian Nations(ASEAN) dan dunia internasional, terutama dalam menekan pemerintah Myanmar agar menghentikan politik diskriminasi. 

"Saya kira dalam masalah Rohingya ini, Indonesia perlu mengambil peran lebih signifikan lagi agar mendapat perhatian lebih serius di ASEAN. Kalau perlu ASEAN menekan Myanmar agar memberi kebijaksanaan terhadap warga Rohingya," ujar Zainuddin di Jakarta, Rabu (13/5/2015). 

Zainuddin beralasan, masalah Rohingya saat ini bukan lagi persoalan internal satu negara, tapi sudah menjadi isu kawasan. Karena berdampak terhadap aspek kemanusiaan dan stabilitas keamanan di kawasan. Jumlah pengungsi Rohingya yang lari keluar dari Negaranya dan mencari perlindungan ke Negara-Negara lain terdekat sudah mencapai puluhan ribu orang. 

Anggota Poksi Luar Negeri Komisi I DPR ini juga mengatakan, setiap anggota ASEAN memang terikat dengan code of conduct untuk saling menghormati dan tidak turut campur dalam persoalan dalam negeri masing-masing. Namun jika persoalan internal anggota ASEAN telah berdampak luas terhadap anggota lainnya dan kawasan, maka sewajarnya jika ASEAN mengambil langkah lebih maju dan tegas. 

"Sampai kapan gelombang pengungsi ini akan terus terjadi? Sampai etnis Rohingya benar-benar habis? Sementara di tempat tujuan mereka juga tidak mendapat hidup yang layak. ASEAN harus menyikapi ini lebih serius demi kemanusiaan universal," ucapnya. 

Zainuddin juga mengapresiasi langkah taktis Kementerian Luar Negeri, Kementerian Sosial RI, dan Pemerintah Daerah Aceh dalam menangani pengungsi Rohingya. Zainuddin mengingatkan Pemerintah Indonesia terkait Konvensi Jenewa 1951 dan Protokol 1967 tentang pengungsi. Indonesia juga harus menganut prinsip non Refoulement, tidak memulangkan pengungsi ke negaranya yang masih dalam kondisi konflik.

"Selama ada konflik di Myanmar, gelombang pengungsi Rohingya akan terus terjadi ke depan. Pemerintah sebaiknya membentuk sistem penanganan baku untuk mengantisipasi hal itu berdasarkan Konvensi Jenewa 1951," imbuhnya.

Selain itu, politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini juga mendesak Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) agar segera turun tangan menangani persoalan Rohingya. Menurutnya, intervensi dunia internasional lebih jauh dalam masalah Rohingya sangat diperlukan. 

Zainuddin mengakui PBB melalui United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) telah melakukan langkah-langkah kemanusiaan terhadap para pengungsi Rohingya. Namun upaya pemecahan masalah di Myanmar perlu juga dilakukan langkah lebih tegas oleh ASEAN atau PBB. 

"PBB pernah menyatakan warga Rohingya saat ini adalah etnis paling teraniaya di dunia. Lalu bagaimana solusinya? PBB dan dunia internasional harus intervensi untuk hentikan pelanggaran kemanusiaan di sana. Dan Myanmar harus dengar suara internasional," cetusnya. 

Pada Senin (11/5), sekitar 600 pengungsi Rohingya memasuki perairan Indonesia secara ilegal. Mereka terdampar di Aceh setelah kapal yang mereka tumpangi kehabisan bahan bakar. Sekitar 50 orang kini dirawat pemerintah Negeri Serambi Makkah karena kelaparan akut.

Tidak hanya Indonesia, Malaysia pun juga menerima gelombang pengungsi Rohingya. Sekitar 2000 warga Rohingya terdampar di pantai barat Malaysia. Selama empat tahun terakhir, etnis minoritas ini mengalami kondisi mengenaskan. Rohingya merupakan salah satu etnis Muslim yang sejak ratusan tahun hidup di Myanmar. Namun pemerintah junta militer di negara itu, bersama rakyatnya yang mayoritas Buddhis menolak mengakui kehadiran mereka. Konflik berlatar sentimen etnis akhirnya pecah pada 2012 lalu, memakan korban ratusan jiwa.

Organisasi Internasional untuk Migrasi memperkirakan sekitar 25 ribu muslim Rohingya dan warga Bangladesh diselundupkan keluar dengan kapal sejak Januari hingga Maret 2015. Bahkan diperkirakan masih ada sekitar 8000 orang lagi yang terjebak di Selat Malaka dan perairan sekitarnya.

Sumber: Humas Fraksi PKS DPR RI