23 Mei 2012

Nikmati Jalan Dakwah....



Oleh : Cahyadi Takariawan*

Terlalu sering saya sampaikan, agar kita tidak gagal dalam menikmati jalan dakwah. Dalam berbagai forum dan tulisan, saya selalu mengajak dan mengingatkan, agar kita selalu menjadikan jalan dakwah ini sebagai sesuatu yang kita nikmati. Segala renik yang ada di sepanjang jalannya: suka dan duka, tawa ria dan air mata, kemenangan dan kepedihan, tantangan dan kekuatan, sudahlah, semua itu adalah bagian yang harus bisa kita reguk kenikmatannya.

Di antara doa yang sering saya munajatkan adalah, “Ya Allah, wafatkan aku dalam kondisi mencintai jalan dakwah, dan jangan wafatkan aku dalam kondisi membenci jalan ini.” Tentu saja bersama doa-doa permohonan lainnya. Saya tidak ingin menjadi seseorang yang mengurai kembali ikatan yang telah direkatkan, mengungkit segala yang telah diberikan, dengan perasaan menyesal dan meratapi segala yang pernah terjadi di jalan ini.

Saya merasa bukan siapa-siapa, dan hanya seseorang yang mendapatkan banyak kemuliaan di jalan ini. Mendapatkan banyak saudara, mendapatkan banyak ilmu, memiliki banyak pengalaman, mengkristalkan banyak hikmah, menguatkan berbagai potensi diri, menajamkan mata hati dan mata jiwa. Luar biasa, sebuah jalan yang membawa berkah melimpah. Maka, merugilah mereka yang telah berada di jalan ini tetapi tidak mampu menikmati.


Maka mari kita nikmati jalan dakwah ini, “sebagai apapun” atau “tidak sebagai apapun” kita. Posisi-posisi dalam dakwah ini datang dan pergi. Bisa datang, bisa pergi, bisa kembali lagi, bisa pula tidak pernah kembali. Bisa “iya” bisa “tidak”. Iya menjadi pengurus, pejabat, pemimpin dan semacam itu; atau tidak menjadi pengurus, tidak menjadi pejabat, tidak menjadi pemimpin, tidak menjadi apapun yang bisa disebut.

Kamu siapa ?

“Saya pengurus partai dakwah”. Ini bisa disebut.

“Saya pejabat publik yang diusung oleh partai dakwah”. Ini juga bisa disebut.

“Saya pemimpin organisasi dakwah”. Ini sangat mudah disebut.

“Saya kepala daerah yang dicalonkan dari partai dakwah”. Ini cepat disebut.

Tapi, kamu siapa ?

“Saya orang yang selalu berdakwah. Pagi, siang, sore dan malam. Kelelahan adalah kenikmatan. Perjuangan adalah kemuliaan. Saya bahkan tidak tahu, apa nama diri saya. Karena saya lebih suka memberikan hal terbaik bagi dakwah, daripada mencari definisi saya sebagai apa di jalan ini”.


Ya. Nikmati saja jalan ini. Sebagai apapun, atau tidak sebagai apapun diri kita di jalan dakwah. Jangan gagal menikmati.


12 Oktober 2011

Selesai Rapat di Markaz Dakwah, Simatupang.

22 Mei 2012

Wow, Dana Amal PKS Setahun Capai Rp 300 Miliar

BANDUNG —- Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam setahun mampu mengumpulkan dana amal dari para kadernya sekitar Rp 300 miliar. Dana itu, selain dari pemotongan gaji politisi PKS yang menjadi anggota dewan, juga hasil dari sumbangan simpatisan, serta beragam aktivitas yang digelar partai.

“Dana charity kami lebih 300 miliar per tahun. Tapi tidak cukup untuk membiayai roda organisasi PKS,” ujar Sekretaris Jenderal PKS Anis Matta dalam diskusi 'Partai Politik Masih Perlu Ga Sih? Mencari Akar dan Solusi Korupsi Politik'. Acara tersebut dihelat Harian Republika bekerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri di Universitas Padjadjaran (Unpad), Ahad (18/3).

Menurut Anis, setiap anggota Fraksi PKS DPR, gajinya setiap bulan dipotong Rp 20 juta. Untuk DPRD provinsi dipotong Rp 6 juta per bulan, dan potongan Rp 2 juta per bulan bagi DPRD kabupaten/kota. Adapun kalau kader PKS mendapat honor tambahan, imbuh dia, maka diberlakukan sumbangan absolut kepada partai sebanyak puluhan persen.

Meski dana yang berhasil dikumpulkan cukup banyak, Anis mengaku pengeluaran PKS lebih besar dari itu. Karena itu, pihaknya mengusulkan agar ada anggaran yang diambil dari APBN untuk dialokasikan kepada partai.

Tujuannya, kata dia, agar parpol bisa hidup normal dan tidak mencari pembiayaan lewat jalur ilegal. “Perlu ada kontribusi APBN untuk program pendidikan dan pengkaderan parpol. Ini agar politisi yang duduk di DPR bisa berperan memperjuangkan aspirasi rakyat,” saran wakil ketua DPR tersebut. [REPUBLIKA]

Fahri Hamzah Luncurkan Buku Korupsi di Gedung DPR

KPK Belum Bekerja Sistemik Berantas Korupsi

JAKARTA – Anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fahri Hamzah mengatakan, setelah hampir satu dekade KPK berdiri, sudah saatnya melakukan evaluasi mendasar atas kerja yang selama ini semata mendapatkan tepuk tangan publik, namun belum menyentuh persoalan pemberantasan korupsi secara sistemik. Hal itu dikatakan Fahri, saat peluncuran buku ‘Demokrasi, Transisi, Korupsi’, Orkestra Pemberantasan Korupsi Sistemik, Selasa (15/5), di Gedung DPR, Jakarta.

“Buku ini saya tulis sebagai pertanggungawaban atas kehebohan yang timbul beberapa bulan lalu ketika saya melontarkan ide pembubaran KPK. Mari kita bubarkan KPK yang tanpa prestasi signifikaan, namun mari kita jaga KPK yang mau belajar dari kesalahan dan melakukan evaluasi diri secara institusional,” katanya.

Di dalam buku yang keempatnya sejak menjadi Anggota DPR ini, Fahri menawarkan solusi pendekatan sistemik dalam pemberantasan korupsi. Menurutnya, jangan pandang remeh aspek pencegahan dari pemberantasan korupsi. Ia menjelaskan, efek jera yang diharapkan dari penangkapan dan pemberitaan di media massa, nyatanya semu belaka. Dia menegaskan, efek jera itu tidak ada, tapi yang ada adalah ‘efek waspada’.

Malah, katanya, korupsi dilaksanakan semakin berhati-hati, pengalihan hasil dilakukan dengan berputar-putar. Koorporat disiapkan untuk menerima hasil korupsi dalam jumlah besar dan seolah menjadi bagian dari laba operasional usaha. “Bayar pajak secukupnya dan uang hasil korupsi telah ‘tercuci’ dengan sempurna. Koruptor semakin waspada menjalankan aksinya,” katanya.

Karena itu, lanjut dia pencegahan mesti dilihat secara lebih luas, tidak semata sosialisasi dan kampanye belaka. Dia mengajak untuk mendorong KPK menelisik lebih cermat segenap peraturan perundang-undangan terkait korupsi yang berlaku.

“Hilangkan wilayah abu-abu. Minimumkan kemungkinan diskresi, tutup peluang negosiasi dan penyelesaian di bawah meja dan libatkan seluruh elemen masyarakat. Itu yang menjadi inti dari buku ini,” katanya lagi.

Dia menegaksan, kerja sistemik untuk mencegak korupsi kerap bersumber dari peraturan perundang-undangan yang tidak jelas, membutuhkan orkestrasi dalam skala nasional. “Kita berharap KPK menjadi dirigen perhelatan besar ini,” katanya. “Ajak presiden yang dalam kampanyenya akan memimpin langsung pemberantasan korupsi, perkuat dan libatkan institusi ini (kepolisian dan kejaksaan,” tambahnya.

Memang, lanjut Fahri, kerja ini tanpa tepuk tangan publik dan merupakan kerja tekun di belakang layar. “Karena ini bersifat lebih mendasar. Niscaya kita akan melihat hasil yang lebih menjanjikan dalam beberapa tahun ke depan,” katanya.

Jika tidak, tegas Fahri, waktu dan tenaga nasional akan habis untuk bertepuk tangan melihat orang-orang digiring masuk ke bui. “Padahal kita dalam getir dan pesimisme yang besar. Karena, kita tidak tahu kapan pesta tepuk tangan ini berakhir,” katanya.

*http://www.jpnn.com/read/2012/05/15/127445/KPK-Belum-Bekerja-Sistemik-Berantas-Korupsi-

Jalan Panjang Pengedar Narkoba Temukan Komunitas Tarbiyah PKS



Oleh Achmad Siddik Thoha ‏
Perawat Komunitas Pohon Inspirasi dan Petualang di Hutan Nusantara


Langit mulai meredup. Sinar jingga mulai menghias di ufuk barat. Aku dan seorang teman petualang perlahan menuju sungai untuk membasuh diri. Hari ini tuntas tugas kami memberikan materi dasar survival di pantai. Kami berdua termasuk panitia yang mendampingi 150-an pemuda dalam kegiatan susur pantai di perbatasan Banten dan Jawa Barat.

Sungai kecil di dekat Pantai Citarate Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak sangat nyaman di sore ini. Ternyata beberapa panitia juga mengikuti kami berdua untuk mandi di sepanjang sungai kecil ini. Temanku, sebut saja EM mulai mengambil peralatan mandinya. Aku mendahului EM untuk menyebur ke aliran sungai yang berada hanya 50 m dari pantai.

Ketika aku hampir selesai mandi, aku mendekat ke EM. Terkejut bukan kepalang diriku. Kulihat badan EM yang kurus penuh dengan tato. Bagian dadanya terlihat tato bergambar kalajengking sedangkan di punggung kanannya gambar naga berwarna hitam menyatu dengan kulitnya. Aku sama sekali tak menyangka EM berpenampilan ala kepala mafia atau mantan narapidana. Setahuku, ia adalah seorang yang sholeh dan menjadi juru dakwah di lingkungannya di Kota Bogor.

Aku mencoba menahan diri untuk tidak mengganggu kenyaman EM di sore itu. Aku bersabar untuk menanyakan tentang tato itu pada saat yang tepat nanti. Seiring waktu, malam mulai menyergap dan nyamuk sudah mulai mengerubungi kami. Akhirnya kami menyudahi bersih-bersih badan menuju camping ground yang berjarak 200 m dari sungai.

***

Salam kedua shalat subuh berjamaah di Mushola Desa Citarate sudah kutunaikan. Semua jamaah keluar dari mushola, kecuali aku dan EM. Aku menemukan momentum untuk menghilangkan keterkejutanku kemarin sore tentang tato di tubuh EM. Kubuka pembicaraan pagi itu dengan sebuah pertanyaan,

“Pak, tato itu sudah lama?” Berhati-hati aku menanyakan hal yang sangat sensitif ini.

“Sudah, Pak.”

“Itu tanda atau apa, Pak?”

“Saya dulu pengedar (narkoba), Pak Siddik. Ini tanda kelompok kami di daerah A. Pengedar daerah lain punya tanda tato yang berbeda lagi.”

EM menjawab tenang, seolah sudah tahu bahwa tato yang terlihat olehku akan ditanyakan. Kemudia EM melanjutkan ceritanya;

“Di kota Bogor, saya salah satu pengedar yang menjajakan pil Koplo dan ganja. Mangsanya anak sekolah, Pak.”

“Apa anak sekolah gampang, Pak?” Tanyaku mulai antusias

“Gampang, Pak dan relatif aman. Saya dapat untung besar. Lumayan, satu hari bisa 100 ribu saya bawa pulang.”

“Pasokan barangnya dari mana?”

“Dari Bandung. Daerah Cianjur, Sukabumi, Kota dan Kabupaten Bogor dipasok dari Bandung. Saya beli per Ban (Sebentuk bantal) untuk Pil Koplo, lalu di bungkus kecil-kecil dalam plastik dan dimasukkan ke dalam kotak korek api. Kalau ganja saya beli per Am (amplop) lalu saya campur dengan rokok. Jadi saya di sekolah seolah sebagai pedagang rokok, Pak.”

“Gak ketahun polisi?” Aku mulai sedikit menginterogasi bak polisi.

“Aman, Pak. Polisi sudah kita bayar. Nama polisinya saya masih ingat betul. Selama polisi itu tidak ketahuan mem-backing narkoba, kita akan aman menjalankan profesi. Tapi sekali kena, semua jaringan kita akan habis.”

“Jadi Polisi yang backing Bapak ketahuan?” Aku tak sabar mendengar cerita berikutnya.

“Ya, polisi itu ketahuan dan dipecat. Kami para pengedar akhirnya kabur. Ada teman saya yang kabur Ke Kalimantan, Ke Sumatera dan tempat yang jauh dari Bogor. Saya sendiri awalnya malah tinggal dekat dengan Polsek. Malah aman. Tapi keberadaan saya masih diikuti oleh pengedar hingga akhirnya saya pindah ke pelosok desa.”

“Bagaimana akhirnya Bapak berhenti jadi pengedar dan pemakai narkoba?”

“Saya dihantui ketakutan karena jadi buronan polisi. Saya mencari jalan bagaimana caranya berhenti dari pekerjaan jahat ini. Pernah saya masuk ke lubang kuburan yang besok harinya akan diisi mayat. Saya tidur di dalam lubang kuburan dan mengandaikan diri saya sudah mati. Saya berpikir, kalau saya mati dalam kondisi penuh dosa seperti ini, sungguh menyesal saya.”

Aku mulai terharu mendengar pengakuan EM yang tulus.

“Lalu bagaimana Bapak bisa sembuh dari ketergantungan narkoba?”

“Saat saya sembunyi dari incaran polisi dan teman pengedar, saya tinggal di pelosok desa. Saya berjumpa dengan seorang bernama Asep. Awalnya kami hanya bermain pingpong, lalu lama-lama dia mengajak saya mengikuti pengajian. Saya sudah bertekad ingin berubah dan berharap pengajian ini membawa saya berubah. Seorang pembimbing pengajian bernama Ustadz Eka menyarankan saya untuk jangan lepas shalat terutama shalat malam. Saya awalnya berat mengerjakan shalat. Saya paksakan terus. Sampai ketika reaksi badan yang mengigil akibat pengaruh kecanduan terasa menyiksa badan saya, saya tetap paksakan mendatangi tempat wudlu.” EM berhenti sejenak.

“Kan pas reaksi narkoba itu muncul rasanya sakit sekali, Pak. Tubuh saya menggelinjang dan rasanya seperti ditusuk-tusuk jarum. Perut juga rasanya sakit sekali. Saya sampai merangkak menuju pancuran di sungai dekat tempat kos untuk berwudlu. Saking sakitnya, saya tertidur dibawah pancuran semaleman. Alhamdulillah, setelah semaleman diguyur air pancuran yang dingin rasa sakit itu jadi berkurang. Saya ulangi tiap hari sampai akhirnya saya merasa menggigil bukan karena reaksi kecanduan, tapi karena menggigil dari air. Lama-kelaman akhirnya saya sembuh.”

“Alhamdulillah, ya. Ternyata petunjuk datang saat ada kesungguhan ya, Pak.” Saya semakin terharu mendengar cerita ini.

“Setelah sembuh saya makin mantap ikut pengajian. Ustadz Eka juga mengajak saya untuk berpartisipasi dalam kegiatan dakwah di masyarakat. Alhamdulillah, Pak, kehidupan saya berubah total. Saya dapat istri yang baik dan anak yang baik pula. Hidup saya cukup meski gaji kecil.”

“Priiit…” suara peluait dari panitia susur pantai sudah berbunyi.

“Ayo, Pak kita ke camping ground.” Ajakku pada EM.

Kami pun menyudahi dialog singkat namun sangat bermakna. Aku benar-benar terinspirasi dengan cerita EM, seorang pengedar narkoba yang bertaubat dan kini mengabdikan diri jadi juru dakwah. Hari itu aku belajar banyak akan makna kasih sayang Tuhan pada orang yang bersungguh-sungguh ingin berubah.

***

Tuhan memberi jalan-Nya yang tak terduga bagi siapa yang ingin kembali. DIA tak pernah mengecewakan usaha seorang hamba yang sudah bertekad bulat mencuci dosa dan kembali pada jalan yang benar. Ampunan dan dan kasih-Nya, melebihi menggunungnya dosa, meluapnya kesalahan dan luasnya khilaf.

Salam kasih sayang.


*EM sekarang sudah jadi Kader Inti PKS.
Murabbi pertama beliau ialah Ust. Eka Hardiana, yang saat ini jadi Aleg PKS DPRD Jabar.

Sebuah dialog selepas malam...

AKHI, dulu ana merasa semangat saat aktif dalam dakwah. Tapi belakangan rasanya semakin hambar. Ukhuwah makin kering. Bahkan ana melihat temyata ikhwah banyak pula yang aneh-aneh." Begitu keluh kesah seorang mad'u kepada murabbinya di suatu malam.

Sang murabbi hanya terdiam, mencoba terus menggali semua kecamuk dalam diri mad'unya. "Lalu, apa yang ingin antum lakukan setelah merasakan semua itu?" sahut sang murabbi setelah sesaat termenung.

“Ana ingin berhenti saja, keluar dari tarbiyah ini. Ana kecewa dengan perilaku beberapa ikhwah yang justru tidak islami. Juga dengan organisasi dakwah yang ana geluti; kaku dan sering mematikan potensi anggota-anggotanya. Bila begini terus, ana mendingan sendiri saja..." jawab mad'u itu.

Sang murabbi termenung kembali. Tidak tampak raut terkejut dari roman wajahnya. Sorot matanya tetap terlihat tenang, seakan jawaban itu memang sudah diketahuinya sejak awal.

"Akhi, bila suatu kali antum naik sebuah kapal mengarungi lautan luas. Kapal itu ternyata sudah amat bobrok. Layarnya banyak berlubang, kayunya banyak yang keropos bahkan kabinnya bau kotoran manusia. Lalu, apa yang akan antum lakukan untuk tetap sampai pada tujuan?", tanya sang murabbi dengan kiasan bermakna dalam.

Sang mad'u terdiam berpikir. Tak kuasa hatinya mendapat umpan balik sedemikian tajam melalui kiasan yang amat tepat.

"Apakah antum memilih untuk terjun ke laut dan berenang sampai tujuan?", sang murabbi mencoba memberi opsi.

"Bila antum terjun ke laut, sesaat antum akan merasa senang. Bebas dari bau kotoran manusia, merasakan kesegaran air laut, atau bebas bermain dengan ikan lumba-lumba. Tapi itu hanya sesaat. Berapa kekuatan antum untuk berenang hingga tujuan? Bagaimana bila ikan hiu datang? Darimana antum mendapat makan dan minum? Bila malam datang, bagaimana antum mengatasi hawa dingin?" serentetan pertanyaan dihamparkan di hadapan sang mad'u.

Tak ayal, sang mad'u menangis tersedu. Tak kuasa rasa hatinya menahan kegundahan sedemikian. Kekecewaannya kadung memuncak, namun sang murabbi yang dihormatinya justru tidak memberi jalan keluar yang sesuai dengan keinginannya.

“Akhi, apakah antum masih merasa bahwa jalan dakwah adalah jalan yang paling utama menuju ridho Allah?" Pertanyaan menohok ini menghujam jiwa sang mad'u. Ia hanya mengangguk.

"Bagaimana bila temyata mobil yang antum kendarai dalam menempuh jalan itu temyata mogok? Antum akan berjalan kaki meninggalkan mobil itu tergeletak di jalan, atau mencoba memperbaikinya?" tanya sang murabbi lagi.

Sang mad'u tetap terdiam dalam sesenggukan tangis perlahannya.

Tiba-tiba ia mengangkat tangannya, "Cukup akhi, cukup. Ana sadar. Maafkan ana. Ana akan tetap istiqamah. Ana berdakwah bukan untuk mendapat medali kehormatan. Atau agar setiap kata-kata ana diperhatikan..."

"Biarlah yang lain dengan urusan pribadi masing-masing. Biarlah ana tetap berjalan dalam dakwah. Dan hanya Allah saja yang akan membahagiakan ana kelak dengan janji-janji-Nya. Biarlah segala kepedihan yang ana rasakan jadi pelebur dosa-dosa ana", sang mad'u berazzam di hadapan murabbi yang semakin dihormatinya.

Sang murabbi tersenyum. "Akhi, jama'ah ini adalah jama'ah manusia. Mereka adalah kumpulan insan yang punya banyak kelemahan. Tapi dibalik kelemahan itu, masih amat banyak kebaikan yang mereka miliki. Mereka adalah pribadi-pribadi yang menyambut seruan Allah untuk berdakwah. Dengan begitu, mereka sedang berproses menjadi manusia terbaik pilihan Allah."

"Bila ada satu dua kelemahan dan kesalahan mereka, janganlah hal itu mendominasi perasaan antum. Sebagaimana Allah ta'ala menghapus dosa manusia dengan amal baik mereka, hapuslah kesalahan mereka di mata antum dengan kebaikan-kebaikan mereka terhadap dakwah selama ini. Karena di mata Allah, belum tentu antum lebih baik dari mereka."

"Futur, mundur, kecewa atau bahkan berpaling menjadi lawan bukanlah jalan yang masuk akal. Apabila setiap ketidak-sepakatan selalu disikapi dengan jalan itu; maka kapankah dakwah ini dapat berjalan dengan baik?" sambungnya panjang lebar.

"Kita bukan sekedar pengamat yang hanya bisa berkomentar. Atau hanya pandai menuding-nuding sebuah kesalahan. Kalau hanya itu, orang kafirpun bisa melakukannya. Tapi kita adalah da'i. Kita adalah khalifah. Kitalah yang diserahi amanat oleh Allah untuk membenahi masalah-masalah di muka bumi. Bukan hanya mengeksposnya, yang bisa jadi justru semakin memperuncing masalah."

"Jangan sampai, kita seperti menyiram bensin ke sebuah bara api. Bara yang tadinya kecil tak bernilai, bisa menjelma menjadi nyala api yang membakar apa saja. Termasuk kita sendiri!"

Sang mad'u termenung merenungi setiap kalimat murabbinya. Azzamnya memang kembali menguat. Namun ada satu hal tetap bergelayut dihatinya.

"Tapi bagaimana ana bisa memperbaiki organisasi dakwah dengan kapasitas ana yang lemah ini?" sebuah pertanyaan konstruktif akhirnya muncul juga.

"Siapa bilang kapasitas antum lemah? Apakah Allah mewahyukan begitu kepada antum? Semua manusia punya kapasitas yang berbeda. Namun tidak ada yang bisa menilai, bahwa yang satu lebih baik dari yang lain!", sahut sang murabbi.

"Bekerjalah dengan ikhlas. Berilah taushiah dalam kebenaran, kesabaran dan kasih sayang kepada semua ikhwah yang terlibat dalam organisasi itu. Karena peringatan selalu berguna bagi orang beriman. Bila ada sebuah isyu atau gosip, tutuplah telinga antum dan bertaubatlah. Singkirkan segala ghil antum terhadap saudara antum sendiri. Dengan itulah, Bilal yang mantan budak hina menemui kemuliaannya."

Suasana dialog itu mulai mencair. Semakin lama, pembicaraan melebar dengan akrabnya. Tak terasa, kokok ayam jantan memecah suasana. Sang mad'u bergegas mengambil wudhu untuk qiyamullail malam itu. Sang murabbi sibuk membangunkan beberapa mad'unya yang lain dari asyik tidurnya.

Malam itu, sang mad'u menyadari kekhilafannya. Ia bertekad untuk tetap berputar bersama jama'ah dalam mengarungi jalan dakwah. Pencerahan diperolehnya. Demikian juga yang kami harapkan dari Anda, pembaca...

Wallahu a'lam.



-----------
sumber: Majalah Al-Izzah, No. 07/Th.4



*posted: pkspiyungan.blogspot.com

PKS Membuatku Berubah

Sungguh sebuah kesempatan yang teramat indah bisa mengenal dan beraktifitas di partai yang satu ini, ya partai ini adalah “Partai Keadilan Sejahtera”. Partai yang telah memberikan warna tersendiri dalam kehidupan saya saat ini, begitu banyak ilmu, kenangan, dan momen-momen indah yang saya dapatkan melalui PKS.

Tidak pernah sebelumnya mempunyai keinginan untuk berkecimpung dalam dunia kepartaian, karena dunia yang satu ini bagi saya sesuatu yang teramat menakjubkan. Dulu saya termasuk orang yang suka menyendiri, dan itu mengasyikkan bagi saya. Tapi setelah mengenal dan beraktifitas didalamnya, ternyata jauh lebih mengasyikan untuk bergabung dengan orang-orang yang punya komitmen yang sama melalui wadah Partai Keadilan Sejahtera.

Banyak hal yang saya dapatkan setelah aktif sebagai kader PKS, diantaranya :

Bermasyarakat, partai ini mengajarkan saya untuk bisa hidup bermasyarakat dengan baik.

Banyak kegiatan yang pada akhirnya membawa saya mengenal banyak daerah-daerah yang sebelumnya belum pernah saya kunjungi. Termasuk mengenal banyak orang dan akhirnya menjadi sahabat dan saudara.

Melatih Kesabaran, partai ini mengajarkan saya untuk sabar.

Karena partai tidak menawarkan sesuatu yang nyata seperti menawarkan barang dagangan, melainkan menawarkan ide-ide perubahan buat bangsa ini. Sehingga dibutuhkan perhatian dan kesabaran untuk bisa membawa masyarakat pada pemahaman dan kesadaran akan pentingnya partisipasi dalam kehidupan bernegara. Masyarakat sudah terlalu lama disuguhi stigma bahwa “politik itu kotor”, sehingga butuh kesabaran ekstra untuk merubah paradigma tersebut,.

Menjadi Tangguh & Sehat, partai ini mengajak untuk kuat dan hidup sehat jasmani dan rohani.

Alhamdulilah melalui partai ini saya mendapatkan pencerahan khususnya dalam memahami ajaran islam yang sesungguhnya. Melalui pertemuan rutin mingguan saya mendapatkan materi-materi yang membangkitkan ruhani untuk berbuat lebih baik. Bahasan-bahasan yang komprehensif tentang keislaman didapatkan dalam pertemuan ini. Selain itu kegiatan kepanduan rutin dilakukan setiap tahunnya dan diwajibkan bagi seluruh kader PKS mulai dari pimpinan puncak sampai kader biasa. Perempuan, laki-laki, bapak-bapak dan ibu-ibu tidak luput dari program tahunan ini, ada kemah dan kegiatan alam lainnya. Senam PKS menjadi kegiatan yang rutin dilakukan dan pernah masuk dalam rekor MURI. Karena dilakukan serentak diseluruh Indonesia.

Membentuk Keluarga-Keluarga yang Baik, partai ini juga memperhatikan masalah keluarga.

Melalui PKS saya mendapatkan istri yang saya cintai dengan cara yang unik menurut saya, seperti yang saya ceritakan dalam postingan kisah cintaku. Partai ini sering mengadakan pelatihan-pelatihan untuk calon-calon pengantin, pembekalan buat keluarga-keluarga yang baru menikah dan sudah lama menikah. Diharapkan dari sana terbentuk keluarga-keluarga yang berkualitas sehingga ada perubahan yang signifikan buat bangsa ini kedepan.

Demikian beberapa hal yang saya dapatkan melalui partai ini, dan masih banyak lagi hal-hal yang bermanfaat lainnya. Mengenal partai ini tidak melulu disodorkan masalah-masalah politik belaka, tapi menyentuh keseluruhan aspek kehidupan kita. Tentunya teman-teman sudah banyak mendengarkan kiprah partai ini mulai dari Sabang sampai Merauke, bahkan sampai kenegeri orang seperti Palestina, Afghanistan, Bosnia, Irak dan negeri-negeri islam lainnya yang mengalami penderitaan. Satu hal yang perlu diingat partai ini adalah masih kumpulan manusia bukan malaikat, sehingga kesalahan dan kealpaan masih melekat semoga kita bisa bijaksana dalam menilainya. Pelajari visi dan misi partai melalui situsnya PKS semoga akan semakin banyak pelajaran penting dan baik kita dapatkan. Mari kita sama-sama berjuang untuk perubahan kearah yang lebih baik buat bangsa ini.

by: indigo

Penakluk Ribuan Hati

Kenanganku bersama (alm) Ustadz Nurhuda Trisula

Ustadz Nurhuda  & Keluarga (Blitar, 6 Juni 1969 – Balikpapan, 28 Januari 2012)

Bagian 1: Kesan Yang Mempesona

Aku mengenalnya karena tuntutan. Waktu itu, kelompok pengajianku harus dipindah dan di “pegang” oleh beliau. Aku sebenarnya merasa canggung dan tidak enak hati. Kenapa mesti di pindah?. Kepada siapa lagi aku menghamburkan curhat-curhatku?. Akankah “orang baru” ini akan bosan dan mengantuk mendengar keluhanku?. Akankah guruku nanti ini akan merasa nyaman dengan sifatku yang meledak-ledak, penuh semangat dan selalu saja protes tentang sesuatu?. Aku tak tahu, dan sungguh merasa malas memikirkannya.

Pertemuan pertama kami terjadi pada sekitar pertengahan tahun 2002. Waktu itu ba’da subuh. Dan udara begitu dingin. Dalam perjalanan awalku dari bilangan M. Yamin (aku masih tinggal di sekretariat lama KAMMI), aku membatin; “kenapa pertemuannya mesti ba’da subuh? Di udara yang begitu dingin?. Tidak adakah waktu lain?”. Tapi, karena -sekali lagi- tuntutan dan perintah dari guru pengajianku sebelumnya, aku tetap ikhlas datang sambil menunggu dan menikmati pengajian yang akan aku jalani bersama guru yang berbeda. Belakangan aku tahu, kenapa pertemuannya mesti ba’da subuh. Dan sungguh, kata “karena” itu mengagumkanku. Hingga kini.

Hari pertama aku menemui rumahnya dengan kesan yang tak berbekas. Rumahnya di bilangan Juanda, tipikal perumahan lama jaman sembilan puluhan, setengah batako, dengan halaman luas tanpa tanaman penyejuk mata. “Aih, sayangnya” dalam hatiku. Karena aku mencintai halaman rumah yang segar menghijau, aku tentu saja akan menyayangkan siapapun yang tidak menanami halaman rumahnya dengan bunga dan tanaman peneduh mata. Belakangan juga, aku nantinya akan tahu kenapa halaman rumahnya tetap di semen dan tak ditanami rumput. Walaupun memang, dua atau tiga tahun belakangan, aku dapati, rumahnya mulai rimbun dengan tanaman.

Sekitar jam enam pagi, pintu rumahnya dibuka. Lalu muncullah wajah teduhnya yang bercahaya. Kelopak matanya menghitam. “Orang ini kurang tidur” kataku dalam hati. Tapi senyumnya begitu mempesona. Suatu waktu nanti, wajah teduh bercahaya ini akan selalu aku ingat saat mengingati pesan yang indah dari cicit Rasulullah Hasan Al-Bashri, waktu ditanya; “mengapa seorang mukmin yang rutin ber-tahajjud berwajah indah?”. Lalu ulama shalih itu menjawab; “karena mereka (yang rutin melakukan tahajjud) senantiasa bermesra dengan Allah dan (karena itu) wajahnya terbasuh pancaran cahaya-Nya”.

Setelah mendapati kami di depan pintu, dengan antusias beliau mempersilahkan kami semua masuk. Pemandangan yang aku lihat pertama kali adalah buku-bukunya. Tak kurang dari tiga lemari besar menghiasi dinding rumahnya, dengan dihiasi buku-buku berbagai disiplin keilmuan. Kebanyakan tentang da’wah dan Islam. “Aha, aku akan menyukai orang ini. Karena aku suka buku dan suka berdiskusi”. Itu saja alasannya. Dengan hidangan awal berupa teh hangat dan sedikit camilan, kami memulai pengajian.

Begitulah awal perkenalannya. Tapi selanjutnya, setiap pekan, hatiku diisi oleh keterpesonaan yang menggulung-gulung tak pernah berhenti. Di balik sikap kalemnya, beliau menyimpan segunung cahaya dan ribuan semangat yang tak pernah habis di bagi kepada kami atau kepada siapapun. Beriring-langkah dengan santunnya, setiap kata yang keluar di tiap pekan perjumpaan berisi renungan yang begitu dalam, begitu luas, begitu mempesona. Karena hatinya begitu tulus, beliau menjadi perajut kata-kata penuh semangat yang begitu indah. Jika saja beliau bisa menuangkan kata-katanya dalam bentuk tulisan, aku yakin, beliau akan menjadi penulis cerita motivasi yang melegenda.

Karena, dengan ramuan kesederhanaannya, beliau mampu menceritakan keindahan berjuang di jalan Allah. Perjalanan panjang itu indah. Pengorbanan itu indah. Bersaudara itu indah. Ukhuwah itu indah. Menjadi siapapun itu indah. Amanah-amanah itu indah. Kemenangan itu indah. Tangisan itu indah. Sakit itu indah. Kematian itu indah. Dan kunci keindahan itu ada di hati. Hati-lah yang membuat semua jalan da’wah nan mendaki seperti jalan lengang menuju firdaus. Kata beliau; “bagi pejuang, semua pertempuran selalu berbuah kemenangan. Tak pernah ada namanya kekalahan. Kekalahan sejati bagi pejuang itu adalah ketika ia lari dari medan pertempuran”.

Dalam perjalanan rutinitas pengajian kami, sering kali aku begitu geli tapi lalu mataku menyembab diam-diam melihatnya. Saat beliau memejamkan mata dan terkantuk-kantuk di antara tilawah pembuka pengajian kami. Aku juga tahu belakangan kenapa beliau selalu terkantuk-kantuk. Beliau hanya sempat beristirahat sekitar tiga sampai empat jam sehari, dengan alasan yang benderang. Alasan yang sama kenapa beliau dan istrinya tak sempat memelihara tanaman di halaman rumahnya. Alasan yang sama kenapa beliau hanya punya waktu ba’da subuh untuk bertemu-muka dan menyapa hati kami. Alasan yang sama kenapa beliau menyempatkan tidur di sepuluh menit sela sebelum pengajian di mulai.

Beliau tak sempat menanami halaman rumahnya dengan tanaman penyejuk mata, juga tak sempat beristirahat dengan puas seperti halnya orang lain pada umumnya. Dan beliau tak lagi punya waktu luang untuk menyapa hati kami, kecuali subuh, dan hanya hari itu. Sekali lagi, hanya hari itu. Karena beliau terobsesi akan datangnya hidayah bagi ribuan hati melalui perantaranya. Karena beliau terobsesi untuk menghadirkan sejengkal taman syurga di hati-hati yang meranggas dan nelangsa. Karena beliau terobsesi untuk meninggal dunia dalam keadaan sedang menjejakkan cita-cita mulia di dada manusia. Karena pagi hingga larut malamnya hanya beliau isi dengan puluhan pekerjaan da’wah yang ingin beliau tunaikan. Karena -seperti yang berkali-kali diungkapkan kepadaku baik saat berdua maupun saat bersama saudaraku yang lain- beliau telah ber’azzam; “istirahat bagi seorang pejuang adalah ketika ia meninggalkan dunia ini”.

Maka benarlah Imam Syahid yang mengabadikan pesannya kepada seluruh da’i di muka bumi; “beban da’wah hanya dapat diberikan oleh mereka yang memahami dan memberikan apa saja yang kelak di tuntutnya; waktu, kesehatan, harta, bahkan darah. Mereka begadang saat semua tertidur lelap. Mereka gelisah saat yang lain lengah. Seakan-akan lisannya yang suci berkata, tidak ada yang kuharap dari kalian. Aku hanya mengharap pahala Allah”.

Pesan yang bila kuingat, selalu membuatku menangis, karena kapasitas komitmenku yang masih perlu dipertanyakan di jalan da’wah ini. Karena ketangguhan jiwaku tak seperti Imam Syahid atau da’i sesudahnya seperti guruku dan para asatidz da’wah lainnya. Sering aku berdo’a kepada Allah, sambil sesekali mengingat senyum teduh guruku itu; “Ya Allah, jadikanlah jiwaku jiwa yang tangguh seperti jiwanya. Karena misi kebenaran butuh jiwa-jiwa tangguh untuk memikulnya di jalan panjang nan tak berujung ini”.

Bertahun-tahun kami bertemu muka setiap pekan, saling mengenal, menjenguk, mengira-ngira dan menyapa hati. Hubunganku dengan beliau seperti hubungan sahabat akrab yang tak terpisahkan. Aku menganggapnya ayah dan abang. Ia menganggapku adik bengal yang tak juga lurus berjalan. Diantara kami ada marah, kecewa, sabar, ketidakmengertian, kemengertian, bahu-membahu, kerjasama, senyum dan maaf.


Bagian 2. Cerita Ketulusan Cinta

Ada beberapa peristiwa yang membuat hubunganku dengan beliau begitu erat. Hingga kini. Peristiwa pertama tentu saja tentang perhatian. Seolah-olah beliau ingin menjelaskan dengan sikapnya, bahwa wujud nyata cinta seorang al-akh adalah perhatian. Kadang-kadang, perhatian yang diberikan tak selalu berupa tutur kata manis. Kadang justru marah yang keras-menyala. Seperti perhatian beliau kepadaku. Beliau memang terkenal keras atas prinsip yang dipegangnya. Tapi selalu lembut saat harus menerjemahkan prinsipnya kepada para belia mujahid da’wah yang meminta nasihatnya. Tapi sepertinya perlakuan itu tidak berlaku bagiku. Beliau mengajarkan keteguhan, pun ketika aku pada saat itu sedang terhimpit. Walaupun ajaran tentang keteguhan itu di selubungi rasa marah.

Marah yang pertama terjadi saat aku meminta ijin bekerja di lembaga riba. Marah yang kedua saat aku mengikuti proyek riset yang diselenggarakan oleh sebuah lembaga riset dan harus meninggalkan pengajian selama dua bulan. Alasanku cuma karena uang dan pengalaman. Dan beliau begitu masygul karena jiwa mujahid tangguh harusnya bisa melewati cobaan kecil seperti itu. Peristiwa pertama reda, karena aku tak lagi melanjutkan tawaran pekerjaan itu. Peristiwa kedua bener-benar membuatnya meledak, karena aku bersikukuh menjalaninya. Lalu aku kembali setelah dua bulan itu. Tapi hatinya digores luka. Aku tak pernah memaafkan keras-kepalaku sejak saat itu.

Peristiwa kedua adalah pengorbanan. Waktu itu tahun 2005, dua tahun setelah kelulusanku. Dan aku sedang di hinggapi euforia kelulusan kuliah. Umurku baru dua puluh dua jalan dua puluh tiga saat lulus S1. Tahun 2005 aku menganggap diriku masih terlalu muda. Aku telah menanamkan mimpi jauh-jauh hari bahwa ketika aku lulus, aku akan leluasa dan merdeka mengeksplorasi gagasan gerakan di KAMMI dan di jalanan tiap hari. Tapi peristiwa berat menimpaku. Ayahku meninggal dunia di usia lima puluhan. Hari pertama aku mendengar kabar itu, aku begitu limbung. Berkali-kali aku hampir pingsan.

Orang pertama yang kuhubungi adalah beliau. Dengan segera, beliau menyuruhku ke rumahnya. Sesampai di rumah, beliau telah sediakan sejumlah uang untuk membeli tiket buatku dan sesegera mungkin mengurus pemakaman ayahku. Aku betul-betul menangis terharu. Dua tahun setelah itu, saat aku mulai mendapatkan penghasilan mengerjakan proyek-proyek riset, aku mencoba mengganti uang beliau. Beliau dengan tegas menampiknya. “Biarkan menjadi pemberat timbangan kebaikan saya”, jawabnya singkat.

Tapi yang paling penting adalah hari-hari setelah itu. Beliau sangat memperhatikan aktivitas dan tumbuh-kembangku. Selain mengarahkan kerja dan aktivitas sesuai potensiku, beliau juga menyemangatiku untuk mengasah kemampuan menulis, melanjutkan S2, menjadi pengusaha, peneliti atau dosen. Sekali waktu, saat air mataku mengambang di pelupuk mengingat ayahandaku, beliau menceritakan panjang lebar tentang ayahanda-nya yang aktivis partai, yang lalu muak dengan politik, mendekat pada Allah, dan melarang anaknya masuk partai, tapi lalu berbangga karena anaknya menjadi aktivis partai da’wah.

Aku menimpalinya dengan cerita yang serupa; “Alhamdulillah syaikh, cerita ayahanda kita berdua kurang lebih sama. Ayahanda saya dulu seorang aktivis partai orba, yang muak dengan kebusukan politik lalu menemukan jalan hidayah. Sempat masuk di Jama’ah Tabligh, tapi lalu melihat jalan terang dan (kembali) berkecimpung di partai da’wah. Di PKS, almarhum sempat mengaji dan menjadi penasehat DPC di kampung. Menyumbangkan dua kursi dari dapil di kampung dari total empat kursi”. “Alhamdulillah, semoga pengorbanan orangtua kita menjadi pahala yang bisa dibanggakan di Yaumul Hisab” timpal beliau menguatkan kami berdua.

Peristiwa ketiga adalah penumbuhan. Peristiwa ini terjadi saat beliau diamanahi untuk mengumpulkan dana sumbangan bagi perjuangan rakyat Palestina. Sehari sebelumnya aku masih bertegur-sapa dengannya. Tapi, malam itu aku mendengar khabar mengejutkan !. Beliau terserang stroke !. Beliau tak sadarkan diri. Menurut cerita beberapa ikhwah, dua harian memang beliau tak beristirahat karena menyiapkan acara tersebut di tambah urusan kedewanan. Waktu itu beliau memang anggota legislatif DPRD Kaltim.

Kalau urusan menjadi wakil rakyat, beliau tak perlu diragukan. Karena leadershipnya diakui oleh semua koleganya. Bahkan beliau terkenal sebagai salah satu diantara beberapa macan Karang Paci. Tapi sekali lagi, kerendah-hatian beliau begitu mempesona. Dulu, waktu ada proyek pembuatan buku “Bukan di Negeri Dongeng” untuk menceritakan ke publik tentang kejujuran, keberanian dan ketulusan aleg-aleg PKS se-Nusantara, beliau sempat mendapat tawaran untuk diceritakan kisah perjuangannya dan ditulis di buku itu. Tapi dengan halus, beliau menolaknya. Rupanya, beliau teringat kalimat peringatan dari seorang shalih; “keterkenalan bagi seorang da’i adalah ujian. Yang akan menguatkan atau menggelincirkan”.

Kesibukan di da’wah dan politik yang tumpuk-menumpuk itulah yang melelahkan fisik dan pikiran beliau. Saat hendak mengambil air wudhu untuk qiyam, beliau jatuh tak sadarkan diri. Aku begitu terpukul. Sungguh-sungguh terpukul. Karena jauh di dalam hatiku aku merasa bahwa aku masih begitu kekanakan. Belum juga kokoh berdiri sebagai seorang dewasa. Tapi sepertinya sakit beliau berupa stroke dan terapi penyembuhannya yang menahun waktu itu menjadi pelecut asa bagiku, bahwa aku harus segera mendewasakan diri. Harus dewasa. Harus kuat memikul beban. Harus kuat.

Peristiwa keempat adalah perawatan. Tahun 2008 dan 2009 adalah masa-masa sulit buatku. Saat-saat aku jatuh karena beberapa hal. Karena kredibilitas publik, karena bisnis dan hal lainnya. Karena peristiwa yang melantakkan integritas ku. Aku juga sempat kehilangan pekerjaan rutinku. Aku benar-benar limbung waktu itu. Sungguh teramat limbung. Suatu waktu, ketika aku terlalu memikirkan begitu dalam masalah-masalahku, aku mengalami kecelakaan di jalan raya yang sangat parah. Semua akhirnya bisa menebak. Orang yang pertama kukhabari adalah beliau.

Dan selang sehari setelah kukhabari, beliau mengunjungiku. Ia datang bersama saudaraku tersayang yang lain. Sebagian masalahku hilang saat aku melihat senyum iba dan beribu ketulusan dari beliau. Beliau mengulangi kata-kata yang sering diucapkannya kepadaku; “Ada hamba-hamba Allah bukan nabi, bukan syuhada namun “disamakan” oleh para nabi dan syuhada dihadapan Allah”.

Beliau melanjutkan dengan menceritakan hadits riwayat Ahmad. Bahwa orang yang di samakan dengan para nabi dan syuhada itu adalah “mereka orang-orang yang saling mencintai dengan ruh Allah, bukan karena hubungan sedarah atau hubungan kepentingan memperoleh kekayaan. Demi Allah, wajah-wajah mereka cahaya. Mereka takkan merasakan ketakutan ketika banyak orang yang ketakutan dan tidak bersedih, bila ummat manusia bersedih”. Sejak hari itu aku menghadapi masalah dengan senyuman. Bayang keteduhan beliau selalu membersamaiku di saat aku gundah.

Kini, walaupun aku telah berpindah keluar kota, aku tetap rutin mengunjunginya, dua kali sepekan. Minimal sekali sepekan. Kadang, ketika rasa kangen begitu membuncah, aku mengajak anak istriku berkunjung ke rumahnya. Seringkali aku datang ke tempat yang kami janjikan sebelumnya untuk bertemu. Seringkali juga kami juga bertemu di rumahnya yang tetap asri dan menenangkan hati, walau minim tanaman.


Bagian 3. Nasihat Tak Terlupakan

Ada juga beberapa nasihat yang membekas darinya yang mengabadi dalam buku catatan hatiku. Nasihat yang senantiasa menjadi bunga pengantar mimpi tentang kedamaian, keluhuran akhlak, dan kesungguhan yang meninggi. Ia, nasehat-nasehat itu, menjelma menjadi bisikan-bisikan menggema yang membersamai langkah kaki. Ia senantiasa menjadi tetulisan yang mencercah di cakrawala saat aku duduk dan berdiri dalam sepi perenungan.

Nasihat pertama yang begitu membekas di hatiku adalah nasihat tentang “Itsar”. Suatu waktu, aku bertengkar hebat dengan seorang al-akh. Pertengkarannya mungkin terbilang sederhana. Masalah anak muda pada umumnya. Tapi tidak bagi beliau. Saat aku adukan masalah pertengkaran ini, beliau berkata dengan raut muka yang mengeras; “akhi, jika ada dua orang saudara yang bertengkar, maka hanya ada dua kemungkinan; hati salah satunya bermasalah, atau hati keduanya bermasalah”. Aku terduduk diam mendengar kata-katanya. Hujan deras mengguyur di dalam hati. Perasaan “aku benar dan dia salah” yang sebelumnya menghinggapi hatiku, berubah menjadi keternaifan yang teramat sangat.

Lain waktu, saat aku menceritakan bahwa dadaku merasa sesak, walaupun telah mendahului meminta maaf kepada seorang al-akh yang telah aku perselisihi, beliau mengutarakan kata-kata indah yang beliau ambil dari nasihat seorang ulama; “akhi, saudara yang lurus memandang pada saudaranya lebih utama dari pada dirinya sendiri”. Di lain waktu, beliau mengutip kata-kata yang menenang-membekas dari seorang ulama juga; “akhi, ukhuwah itu saudara seiring keimanan, sedangkan perpecahan adalah saudara kembar kekufuran. Kekuatan ukhuwah adalah kekuatan persatuan; tidak ada persatuan tanpa cinta kasih; minimal cinta kasih adalah kelapangan dada dan maksimalnya adalah itsar. Itsar itu mementingkan orang lain dari diri sendiri”.

Lain waktu, beliau menceritakan apa itu itsar. Di depan seorang masyaikh da’wah senior yang sekarang pindah ke Sulawesi Selatan, beliau pernah menangis. Betapa beliau tak tahan menjadi anggota legislatif dan ingin menjadi “aktivis tarbiyah”. Menikmati hari-hari mengisi halaqoh, dauroh atau pelatihan peningkatan kapasitas kader da’wah. Beliau ingin menyerahkan urusan legislatif kepada al-akh yang lain dan ingin berkonsentrasi penuh pada penataan manajemen di partai yang beliau rasa masih lemah. Sayangnya, keinginan beliau tidak diaminkan oleh jama’ah. Beliau tetap berlapang dada dan bersemangat dengan amanah-amanah dan perintah jama’ah.

Nasihat kedua yang selalu aku ingat adalah nasihat bagaimana “mengukur kejujuran”. Beliau punya standar untuk mengukur kejujuran dan kebajikan orang. Ajaibnya, standar yang beliau pakai selalu menyandarkan pada riwayat salafushalih. Kata beliau suatu waktu; “Akhi, jika engkau ingin mengetahui kebenaran dan ketulusan seseorang dalam sebuah masalah, terutama tentang agama-nya, maka lihatlah subuhnya. Jika ia merutinkan diri berjama’aah di subuh hari di masjid jami’, maka ia orang yang terang sanubari-nya. Karena jama’ah di subuh hari bagi Nabi, para sahabat dan ulama adaalah tolok ukur kejujuran atau kemunafikan.

Nasihat ketiga yang begitu membekas buatku adalah nasihat tentang “cara berpikir atas sebuah masalah”. Sangat sering beliau menyatakan dengan senyum tulus; “Akhi, seorang da’i itu harus luas wawasannya, terang fikirannya dan mengangkasa visi dan citanya. Bacalah banyak buku. Dari berbagai disiplin ilmu. Hingga setidaknya antum menguasai apa yang menjadi topik dan pembicaraan intelektual, aktivis dan masyarakat. Banyaklah berdiskusi dan pimpinlah opini. Islam bisa di menangkan karena gagasan dan narasinya merajai kepala dan hati manusia. Tapi satu yang perlu diingat. Asah keahlian terbaikmu. Ikhwah juga jangan sampai hanya menjadi jack of all trades, but master of none. Hanya banyak tahu tapi tidak ahli apapun”.

Beliau melanjutkan dengan cerita tentang masyaikh da’wah. “Dulu, Ustadz Anis Matta senantiasa merutinkan diri untuk membaca buku minimal tiga buku dalam sehari. Saat beliau ingin mendalami tentang sesuatu, beliau senantiasa mendisiplinkan diri untuk membaca buku-buku yang berisi bidang dan pengetahuan yang ingin beliau pelajari. Pernah, beliau membaca literatur berbahasa arab selama dua tahun, dan menghindari bahasa lain, karena ingin sempurna penguasaannya tentang bahasa arab. Begitu juga ilmu-ilmu lain. Outputnya sekarang terlihat jelas. Beliau menjadi sosok yang secara keilmuan, di atas rata-rata ikhwah kebanyakan”.

Nasehat keempat yang sangat membekas adalah tentang “keberanian dan obsesi da’wah”. Di sela-sela pengajian, beliau banyak bercerita tentang masa lalunya, aktivitasnya dan impian masa depan. Suatu waktu, beliau pernah bercerita; “Akhi, waktu SD dulu, saya akui saya teramat sangat nakal. Terhitung setiap hari pasti berkelahi. Almarhum ayah saya selalu menanyakan jika saya menangis dan pulang ke rumah?. Diapain, tanya ayah saya. Kalau saya bilang dipukul teman, ayah saya pasti akan menyahut; balas dong. Jadi orang harus berani. Begitulah ayah saya akh, selalu mengajarkan tentang keberanian menghadapi siapapun. Karena itu pula, saya kemudian mempelajari Karate hingga ban hitam. Kelak, mental berani itu sangat saya rasakan pentingnya untuk membela da’wah. Saya pernah membentak seorang Jenderal pada saat Pilgub 2003, karena cara berpikirnya yang salah dalam strategi pemenangan dan berpotensi membuat kalah calon yang diusung jama’ah. Saya tidak takut akh. Karena kita berjuang di barisan kebenaran. Seorang mujahid harus berani dan pantang menyerah”.

Lain waktu, beliau bercerita tentang masa kecilnya ketika SMP hingga lulus kuliah. “Akhi, waktu saya SMP, setelah mengalami masa-masa bengal di SD, saya mulai banyak merenung tentang kehidupan. Saya mulai keranjingan membaca buku. Bahkan saya menyukai buku-buku atheis yang mempertanyakan eksistensi Tuhan. Sebagai bentuk dialektika dalam diri saya, saya sampai meninggalkan sholat. Tapi tak lama kemudian, hidayah Allah datang. Sekitar kelas tiga SMP saya mulai bersentuhan dengan kegiatan masjid dan da’wah islam. Saya mulai masuk PII dan mengisi pengajian, padahal waktu itu belum mengerti yang namanya halaqoh. Tapi memang di PII (Pelajar Islam Indonesia), ada semacam tata aturan pendidikan kader seperti halaqoh. Saya mengalami fase pencarian pola da’wah dan gerakan yang sesuai itu hingga kuliah di STAN. Pada saat di STAN itulah, saya menjadi sangat serius berda’wah, mulai menjadi aktivis masjid hingga menjadi Ketua Umum da’wah masjid di STAN”.

“Dalam puncak keseriusan saya di da’wah dan harokah, saya sampai pernah memegang halaqoh hingga enam belas halaqoh. Jadi saya bagi waktu dalam sepekan untuk mengisi enam belas kelompok binaan. Ohya, kelompok usar saya juga gabungan dari berbagai mas’ul da’wah kampus di Jakarta dan sekitarnya. Ada ketua BEM atau Ketua Masjid dari ITB, UI, IKIP Jakarta, hingga IPB. Masing-masing sibuk dengan kegiatan da’wah di kampusnya. Karena murobbi saya adalah penanggungjawab da’wah yang membawahi da’wah di beberapa negara, kami sering melakukan liqo mandiri. Terlecut oleh kesibukan murobbi kami, kami juga mulai melakukan rencana-rencana membina halaqoh di seluruh Jawa dan Sumatera. Jadi setiap akhir pekan, mulai Jum’at hingga Ahad, kami naik kereta dan bus, ada yang ke Lampung, ada yang ke Jawa Timur atau daerah lain di luar Jakarta, untuk merekrut atau membuka kelompok baru di kalangan SMA lalu kemudian kembali lagi ke Jakarta pada Sabtu sore atau Ahad pagi. Antum bisa bayangkan bagaimana cara kami mengatur waktu antara kuliah, menjadi aktivis masjid atau BEM, membina halaqoh, membuka kelompok halaqoh baru hingga mengelola amanah-amanah kelompok baru dari hasil rekrutan kami”.

“Obsesi-obsesi itu tetap saya pelihara hingga lulus kuliah. Saat pertama kali menginjakkan kaki di Kalimantan Timur, saya melapor ke murobbi saya almarhum Rahmat Abdullah. Beliau bertanya kepada saya tentang apa obsesi yang akan saya kerjakan di ladang da’wah baru di Kaltim. Dan saya menjawab tegas. Beri saya waktu setahun dan saya akan berikan dua puluh lima kader da’wah, begitu janji saya. Dan saat waktu yang dijanjikan tiba, saya telah persembahkan enampuluh kader dari Kaltim, Kalsel dan Kalteng”.

Lain waktu juga beliau juga bercerita tentang obsesi yang pernah beliau capai. “Akhi, dulu waktu kami aktif di kegiatan masjid di STAN, dan saya menjadi Ketua Umumnya, kami mengalami kendala dengan dana operasional masjid. Berhubung ikhwah pada saat itu juga kesulitan dalam hal keuangan maka saya mencoba mencari terobosan. Pada saat itu, mahasiswa di STAN, selain di gaji, juga mendapatkan beras dari pemerintah. Kalau tidak salah 15 kg setiap bulan. Maka saya umumkan kepada seluruh ikhwah untuk menyumbangkan berasnya untuk kemudian dijual di Pasar Senen oleh ikhwah yang kita amanahi untuk menjual. Ikhwah yang saya beri amanah untuk menjual itu, saya tekankan untuk mengelola bisnis penjualan beras secara profesional. Sejak saat itu, keuangan masjid tidak pernah seret lagi, dan tercatat di masa saya, masjid kampus STAN banyak melakukan kegiatan gemilang dengan dana mandiri dan sangat melimpah”.


Bagian 4. Bekal Masa Depan

Dalam hal keteladanan dan kesungguhan berda’wah, beliau juga pernah memberikan nasihat-nasihat gemintang. Nasihat yang aku ingat antara lain adalah “keteladaan di dalam jama’ah”. Bagi beliau, seorang al-akh agar bisa dipercaya, ia harus menunjukkan kualitas keimanan, profesionalitas kerja dan keutamaan dalam persaudaraan. Jika memungkinkan, ibadah yaumiah kita dipelihara dengan shalat berjama’ah dengan paling awal datangnya, juga menjaga ibadah-ibadah sunnah. Berusahalah menjadi ikhwah yang paling merdu dan bagus bacaaan tilawahnya. Begitu juga dalam rapat-rapat da’wah. Berusahalah untuk datang paling awal, berusahalah untuk menampilkan data paling lengkap atas sebuah masalah, paling menguasai problem dan solusi tapi mampu membahasakan dengan bahasa yang sederhana, lugas, ilmiah tapi tetap lembut.

Nasihat yang lainnya yang juga akan menjadi bekal perjalananku adalah nasihat tentang “skala prioritas”. Bagi beliau, da’wah adalah prioritas. Dan semua urusan da’wah dimulai dengan beresnya seorang al-akh akan rutinitas nya menghadiri halaqoh. Seberat apapun pekerjaan seorang ikhwah, sesulit apapun tantangan hidupnya dan sesibuk apapun aktivitas kehidupannya, semua harus menghadiri halaqoh. Tarbiyah adalah pangkal da’wah dan tiada tarbiyah tanpa pertemuan. Beliau dengan berkaca-kaca di selimuti kecewa pernah bercerita tentang seorang ikhwah pejabat publik yang begitu sibuknya aktivitasnya hingga tiga pekan tak menghadiri halaqoh.

Beliau menceritakan tentang teladan komitmen dalam da’wah dan jama’ah dengan menceritakaan kisah Ustadz Hilmi Aminuddin. “Antum tahu bagaimana sibuknya Ustadz Hilmi. Sibuknya melebihi SBY, karena jadwal beliau yang begitu padat, menghadiri rapat, menerima kunjungan, memberikan taujih atau melakukan kunjungan ke berbagai daerah. Suatu waktu, saat Ustadz Hilmi berkunjung ke sebuah daerah di Indonesia Timur yang direncanakan harus di hadiri selama dua hari, pada hari pertama setelah kunjungannya, tiba-tiba Ustadz Hilmi membeli tiket pulang ke Jakarta, dan datang lagi keesokan harinya. Saat ikhwah dari daerah itu bertanya kenapa Ustadz Hilmi menyempatkan pulang lalu kembali lagi, Ustadz Hilmi menjawab bahwa ada kesibukan yang tak bisa ditinggalkan. Kesibukan itu, kata Ustadz Hilmi; menghadiri halaqoh”.

Menurut beliau juga, ada beberapa prioritas yang harus dikerjakan oleh setiap ikhwah. Prioritas itu memiliki binaan halaqoh, mempelajari bahasa arab dan inggris, menguasai teknologi sosial media dan membagus kan (tahsin) bacaan qur’an. Bagi beliau, membina halaqoh adalah syarat kedewasaan seorang ikhwah. Ia menjadi prasyarat utama bagi seorang ikhwah untuk mendapatkan amanah da’wah yang lebih besar dari sebelumnya. Bagi beliau juga, seorang ikhwah harus mempelajari bahasa arab dan inggris atau bahasa internasional lain. Karena, zaman telah berubah, da’wah telah menyebar ke seluruh dunia, dan hubungan dan jarak menjadi kabur. Ikhwah bisa dengan leluasa pergi atau berkunjung ke negara lain. Interaksi antar bangsa menjadi sesuatu yang jamak. Dan bahasa adalah pokok awal komunikasi.

Begitu inginnya beliau mempelajari bahasa arab dan inggris, dengan keterbatasan dan kesibukan beliau, beliau tetap menyempatkan diri untuk mengikuti kursus bahasa arab setiap senin hingga jum’at. Beliau juga mewajibkan istrinya untuk belajar bahasa arab. Di detik lain, beliau bercerita tentang pentingnya membaguskan bacaan qur’an. Beliau memandang bahwa masyarakat umum adalah masyarakat yang masih begitu hormat dengan siapapun yang menguasai hapalan Al-Qur’an dan memperdengarkannya dengan sangat bagus. Jika ikhwah bisa membaguskan bacaan qur’an, maka masyarakat akan tsiqoh dan percaya pada kader da’wah. Selain memperbagus bacaan qur’an, tak lupa beliau sampaikan tentang pentingnya ikhwah menguasai teknologi dan media sosial. Bagi beliau, media sosial bisa menjadi alat untuk mengkomunikasikan secara efektif pikiran-pikiran jama’ah tentang perbaikan masyarakat. Media sosial juga bisa menjadi alat yang mengkebiri dan menghancurkan nama baik jama’ah, karena itu, kita wajib mengantisipasi dan menjaganya.

Nasihat lain yang tergurat di hatiku adalah nasihat tentang “pandangan yang benar tentang posisi dan peran”. Bagi beliau, seorang ikhwah yang benar, adalah ikhwah yang senantiasa memproduksi semangat untuk berperan besar dalam da’wah dan bukan semangat menggebu mengejar jabatan, posisi, dan gelar-gelar duniawi lainnya. Kata beliau, ada semacam pergeseran yang mewabah di kalangan masyarakat, bahwa masyarakat mulai di hinggapi jiwa-jiwa kerdil dan pengecut yang menginginkan otoritas, kekuasaan, dan jabatan, tetapi tidak mau bertanggung jawab bagi masa depan. Ikhwah harusnya menegaskan sebaliknya. Ikhwah harus seperti kata Ustadz Hilmi dan peribahasa arab yang dikutipnya; “kun kitaaban mufiidan bila ‘unwaanan, wa laa takun ‘unwaanan bila kitaaban”. Mengokohlah kita dalam bentuk kitab yang bermanfaat walau tanpa judul. Tapi, jangan sekalipun kita menjadi insan yang memiliki judul tapi tanpa kitab. Beliau menegaskan berkali-kali, bahwa jabatan itu tak penting dalam dunia da’wah. Yang paling penting adalah kontribusi. Maka sungguh biasa sekali peristiwa pencopotan Panglima Khalid oleh Khalifah Umar, karena dengan tanpa jabatan panglima-pun seorang Khalid tetap menjadi prajurit dengan beribu obsesi meninggalkan bumi.

Di lain kesempatan, beliau menceritakan kepadaku tentang betapa tak pentingnya pandangan manusia dan ikhwah pada umumnya tentang amal seorang ikhwah. Beliau begitu masygul jika ada ikhwah yang masih mengharapkan pujian saat melakukan kerja-kerja da’wah. Karena beliau teringat akan cerita di zaman Rasulullah, dimana ada seorang sahabat yang tak di kenal di kalangan manusia, tapi senantiasa menjadi pembicaraan penduduk langit bernama Uwais Al Qarny. Sahabat Rasulullah itu senantiasa beribadah dengan khusyu’ dan sembunyi-bunyi, tak pernah lelah memberikan kontribusi menggunung tinggi walaupun tiada siapapun yang memuji. Maka benarlah Rasulullah yang menjadi inspirasi guruku yang bersabda; “sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, yang kaya (mencukupkan apa adanya), dan yang beribadah secara khafi (sembunyi-sembunyi)”.

Nasihat lainnya yang juga membuatku terjerembab dalam rasa malu yang bertubi-tubi adalah nasihat tentang; “istiqomah dan pantang menyerah”. Nasihat itu beliau berikan terkhusus buatku. Saat aku mendapatkan masalah bertubi-tubi yang menyebabkan aku tak begitu semangat menghadiri halaqoh atau kegiatan jama’ah lainnya, beliau terhitung lima atau enam kali bercerita kepadaku tentang kisah nyata pada saat beliau menjadi Ketua Umum Masjid di STAN.

“Dulu, waktu saya menjadi Ketua Umum Masjid di STAN, di kalangan dosen dan mahasiswa, ada dua organisasi yang mendominasi dan sangat disegani di kampus saya. Dua organisasi itu adalah Mapala (organisasi pecinta alam) dan Masjid STAN. Setiap tahunnya, dua organisasi ini bersaing untuk berebut pengaruh di pemilihan BEM STAN. Di antara kedua organisasi ini, ada semacam persaingan diam-diam. Suatu waktu, di sebuah kota, diadakanlah lomba lintas kota. Kalau tak salah Lomba Lintas Kerawang-Bekasi, semacam lomba menapaki perjalanan pejuang di antara dua kota, dengan berjalan kaki. Saya berpikir, bahwa inilah saatnya untuk “menundukkan” anak-anak Mapala. Maka saya mencari ikhwah yang mau dan mampu mengikuti lomba itu. Saya menemukan seorang al-akh yang mau, dan kebetulan, al-akh yang menjadi relawan ini adalah penggemar olahraga kepecinta-alaman. Maka, pada hari H kegiatan, ikhwah itu mengikuti lomba tersebut. Anak-anak Mapala menurunkan timnya yang terdiri dari lima atau sepuluh orang”.

“Saat lomba dilaksanakan, kami menunggu dengan cemas hasilnya. Dan saat yang dinantikan itu akhirnya tiba. Tak disangka oleh semuanya, al-akh itu menang di posisi pertama atau kedua. Hasil itu benar-benar menghebohkan seluruh kampus, karena disamping dia bukan berasal dari organisasi pecinta alam, ternyata juga, banyak organisasi pecinta alam yang tak sampai di finish karena jauhnya jarak perjalanan. Atau masuk ke finish di urutan belakang. Saya penasaran dengan al-akh itu, kenapa ia bisa masuk finish dan menjadi juara perlombaan. Waktu saya tanya rahasianya, al-akh itu menjawab dengan jawaban penuh makna; perjalanan lomba itu memang begitu jauh dan tak kelihatan ujungnya. Dan karena jauh itu, al-akh itu mensiasatinya dengan memastikan dua hal. Yang pertama, ia memastikan bahwa ritme kakinya harus selalu stabil dan konstan, dengan senantiasa memperhatikan jarak langkah kaki. Yang kedua, ia memastikan bahwa selangkah di depannya tak ada lubang atau halangan lain. Ia tak pernah melihat jalan membentang di depan mata. Ia hanya fokus melihat gerakan langkah kaki dan jalan di depan kakinya”.

Ada peristiwa lain yang aku alami bersama beliau yang menjadi renungan bagiku tentang sifat pantang menyerahnya. Tahun 2010 akhir, saat aku mengikuti kemah kader, aku kebetulan mengikuti dan bergabung menjadi satu kelompok bersama beliau. Dalam sesi permainan perebutan bendera antar kelompok, aku mendapati bahwa beliau termasuk orang yang paling “ngotot”. Di akhir acara, saat kami harus menempuh long march sebagai sesi wajib bagi peserta, beliau memaksa ikut kepada panitia. Padahal jarak perjalanan yang harus kami lalui sepanjang empat puluh kilo meter. Beliau sempat mengeluh sakit dan terseok-seok. Waktu itu, beliau sudah mengalami stroke yang pertama, dan salah satu telapak kakinya baru sembuh usai operasi karena tulangnya patah. Tapi beliau begitu mengagumkan. Karena beliau menikmati longmarch itu dengan melontarkan guyonan, cerita-cerita dan senyuman di sepanjang jalan. Berkali-kali aku menyarankan untuk istirahat, tapi beliau menolaknya. Bahkan wajahnya kadang membesi jika di larang.

Begitulah beliau dan kesan yang mengindah di hatiku tentang pribadi beliau. Aku yakin, banyak ikhwah yang mendapatkan kesan berbeda tentang beliau. Tapi buhulnya pasti hanya satu; keteladanan da’wah. Beliau salah satu generasi mujahid da’wah yang dengan izin Allah dan melalui perantaranya-lah, lahir ribuan jiwa-jiwa tangguh yang memakmurkan bumi Allah di Indonesia dan Kalimantan Timur dengan kalimat kebenaran dan kedamaian hati. Melalui perantara kata-kata beliau pula-lah, banyak hati terpesona, takluk, tergugah, bangkit dan merapat berbaris di jama’ah da’wah.

Tubuhnya mungkin begitu lelah dan menyenja. Tapi hati dan jiwanya seperti pedang terhunus yang tetap mengkilat di medan laga. Dan sekali lagi, setiap orang yang pernah mengenalnya atau bertutur sapa dengannya pasti akan mendapatkan kesan yang sama; nasihat kehidupan yang begitu dalam dan komitmen di jalan kebenaran yang tidak tergoyahkan. Dan aku tak mau hidup hanya untuk jadi pengenang kebaikan beliau, lalu menulisnya hanya di prasasti hati banyak manusia. Tapi aku sungguh ber ‘azzam untuk berdiri demi melihat jiwanya, mengaguminya, menaburkan benih ketulusan yang beliau miliki di hati banyak pejuang lalu berusaha sekuat tenaga mengikuti jejaknya, menjadi pengganti peran-peran mulianya; membangun peradaban.

Hari-hari ini, aku banyak melafalkan do’a. Do’a yang kulantunkan dengan tangis di penghujung malam; “Allahummasyfi Li Ustadz Nurhuda Trisula, Allahummanshurhu warhamhu wabarik lahu ya Allah. Antas syaafi Laa syifaa’an illaa syifaa’uka syifaa’an Laa yughadiru saqama. Bismillahi nawakkalna alaLLahi laa haula walaa quwwata ilaa biLlahi. Amiin”.

Ya Illahi, izinkanlah muassis tangguh itu hadir kembali membersamai kami yang belia ini.

*)sumber: http://pelangikalasenja.wordpress.com/

Subhanallah, Pedagang Somay Keliling ini Ketua DPRa PKS

“Ane kalau ada sms suka minta tolong temen untuk dibacain” demikian ujar beliau dengan polosnya”

Suatu waktu beliau pernah berbicara, kalau ada undangan rapat DPC-DPRa meminta agar tidak melalui sms tapi ditelepon saja. Kami memaklumi hal tersebut mungkin karena faktor usia sehingga beliau tidak begitu jelas untuk membaca tulisan yang kecil-kecil di handponenya.

Walau sudah berusia setengah abad lebih, Pak Jaenudin atau yang akrab dipanggil Bang Jay dengan penuh semangat dan dedikasi menerima amanah dari kami untuk menjabat sebagai ketua DPRa (Dewan Pengurus Ranting) Partai Keadilan Sejahtera di desa Kertamukti, kecamatan Cibitung, kabupaten Bekasi, Jawa Barat.

Yang lebih kami kagumi lagi, beliau menjalani amanah Ketua DPRa PKS ini disela-sela kesibukannya mencari nafkah untuk menghidupi dua orang anak dan seorang istri dengan berjualan somay keliling yang dilakoni dari tahun 1990.

Amanah ini beliau jalani dengan penuh semangat, ketika taklimat untuk rapat koordinasi itu kami sebar melalui sms berantai seketika itu pula beliau hadir dengan menghentikan aktivasnya berjualan somay walaupun kadang masih tersisa cukup banyak. Sehingga kami selalu menjadikan somay “Bang Jay” sebagai menu konsumsi rapat. Bahkan bukan hanya dalam rapat saja dalam setiap kesempatan acara kami selalu menjadikan somay Bang jay sebagai tambahan konsumsi.

Karena enaknya rasa somay Bang Jay kami juga meminta para kader merekomendasikan dan mempromosikan somaynya kepada kader atau pun orang lain dalam berbagai acara. Ini juga salah satu cara kami dalam membangkitkan ekonomi kader.

Bang Jay merupakan sosok yang ramah dan supel dalam bergaul serta kepolosannya sehingga kami betah bercerita dengan beliau. Ada cerita menarik dari teman-teman kepanduan, ketika DPC PKS Cibitung mengirimkan utusannya ke acara Mukhayyam Pandu Keadilan Dasar 1 (MPKD) beberapa waktu lalu. Beliau sebagai ketua ranting menjawab dengan yakin dan mantab akan mengirimkan lima utusan termasuk beliau sebagai peserta. Semula kami tidak yakin beliau akan ikut mengingat mata pencahariannya setiap hari berjualan somay.

Akhirnya keraguan kami tidak terbukti dengan berangkatnya Bang Jay beserta personilnya. Sehingga dari dua puluh enam orang peserta Mukhayyam dari Cibitung mereka tidak ingin dipecah menjadi beberapa regu. Mereka ingin berkumpul bersama dalam satu regu dengan Bang Jay sebagai Komandan Regu. Jadilah team kepanduan DPC Cibitung sebagai team yang “Terheboh” di acara tersebut.

Pada pemilihan Bupati kabupaten Bekasi tahun 2012 kemarin Bang Jay juga sangat terlibat aktif. Beliau yang memiliki jam dagang dimulai dari sore hingga larut malam masih tetap bisa memenuhi amanah yang dibebankan kepadanya untuk mengisi semua TPS dengan saksi.

Bang Jay adalah salah satu batu bata kecil yang menyusun kokoh bangunan peradaban yang dicita-citakan Partai Keadilan Sejahtera. Semangat, dedikasi dan pengorbanannya di jalan dakwah ini menjadi cermin bagi semua kader PKS dimana saja berada untuk tegak kokoh mempersembahkan yang terbaik bagi terwujudnya cita-cita luhur partai dakwah ini: tertegaknya keadilan dan terciptanya kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Wallahu a’lam Bishawwab.



*sumber: http://pkscibitung.wordpress.com

7 Tanda Kebahagiaan Hidup di Dunia



7 TANDA KEBAHAGIAAN HIDUP DI DUNIA

1. Qalbun Syakirun
2. Al azwaju shalihah
3. Al Auladun abrar
4. Al bi'atu sholihah
5. Al maalul halalun
6. Tafakuh fiddien
7. Al Umrul Mabruk


Ibnu Abbas ra. adalah salah seorang sahabat Nabi SAW yang sangat telaten dalam menjaga dan melayani Rasulullah SAW, dimana ia pernah secara khusus didoakan Rasulullah SAW, selain itu pada usia 9 tahun Ibnu Abbas telah hafal Al-Quran dan telah menjadi imam di masjid. Suatu hari ia ditanya oleh para tabi’in (generasi sesudah wafatnya Rasulullah SAW) mengenai apa yang dimaksud dengan kebahagiaan dunia. Jawab Ibnu Abbas ada 7 (tujuh) kunci kebahagiaan dunia, yaitu:

1. Qalbun syakirun (hati yang selalu bersyukur)

Memiliki jiwa syukur berarti selalu menerima apa adanya (qona’ah), sehingga tidak ada ambisi yang berlebihan, inilah nikmat bagi hati yang selalu bersyukur. Seorang yang pandai bersyukur sangatlah cerdas memahami sifat-sifat ALLAH SWT, sehingga apapun yang diberikan ALLAH, ia malah terpesona dengan pemberian dan keputusan ALLAH.

Bila sedang kesulitan maka ia segera ingat sabda Rasulullah SAW yaitu, “Kalau kita sedang sulit perhatikanlah orang yang lebih sulit dari kita”. Dan bila sedang diberi kemudahan, ia bersyukur dengan memperbanyak amal ibadahnya.

2. Al azwaju shalihah (pasangan hidup yang sholeh)

Pasangan hidup yang sholeh akan menciptakan suasana rumah dan keluarga yang sholeh pula. Di akhirat kelak seorang suami (sebagai imam keluarga) akan diminta pertanggungjawaban dalam mengajak istri dan anaknya kepada kesholehan. Berbahagialah menjadi seorang istri bila memiliki suami yang sholeh, yang pasti akan bekerja keras untuk mengajak istri dan anaknya menjadi muslim yang sholeh. Demikian pula seorang istri yang sholehah, akan memiliki kesabaran dan keikhlasan yang luar biasa dalam melayani suaminya, walau seberapa buruknya kelakuan suaminya.

3. Al auladun abrar (anak yang sholeh)

Saat Rasulullah SAW thawaf, beliau bertemu dengan seorang anak muda yang pundaknya lecet- lecet. Setelah selesai thawaf Rasulullah SAW bertanya kepada anak muda itu, “Kenapa pundakmu itu?” Jawab anak muda itu, “Ya Rasulullah, saya dari Yaman, saya mempunyai seorang ibu yang sudah udzur. Saya sangat mencintai dia dan saya tidak pernah melepaskan dia. Saya melepaskan ibu saya hanya ketika buang hajat, ketika sholat, atau ketika istirahat, selain itu sisanya saya selalu menggendongnya” Lalu anak muda itu bertanya, ” Ya Rasulullah, apakah aku sudah termasuk kedalam orang yang sudah berbakti kepada orang tua?”

Nabi SAW memeluk anak muda itu dan mengatakan, “Sungguh ALLAH ridho kepadamu, kamu anak yang sholeh, anak yang berbakti, tapi anakku ketahuilah, cinta orangtuamu tidak akan terbalaskan olehmu” Dari hadist tersebut kita mendapat gambaran bahwa amal ibadah kita ternyata tidak cukup untuk membalas cinta dan kebaikan orang tua, namun minimal kita bisa memulainya dengan menjadi anak yang sholeh, dimana doa anak yang sholeh kepada orang tuanya dijamin dikabulkan ALLAH.

4. Albiatu sholihah (lingkungan yang kondusif untuk iman kita)

Kita tentu boleh mengenal siapapun, tetapi untuk menjadikannya sebagai sahabat, haruslah orang- orang yang mempunyai nilai tambah terhadap keimanan kita. Sebagaimana Rasulullah yang menganjurkan kita untuk selalu bergaul dengan orang-orang yang sholeh yang akan selalu mengajak kepada kebaikan dan mengingatkan kita bila kita berbuat salah.

5. Al malul halal (harta yang halal)

Dalam riwayat Imam Muslim di dalam bab sadaqoh, Rasulullah SAW pernah bertemu dengan seorang sahabat yang berdoa mengangkat tangan. “Kamu berdo’a sudah bagus”, kata Nabi SAW, “Namun sayang makanan, minuman dan pakaian dan tempat tinggalnya didapat secara haram, bagaimana doanya dikabulkan?” Berbahagialah menjadi orang yang hartanya halal karena do’anya akan sangat mudah dikabulkan ALLAH. Harta yang halal juga akan menjauhkan setan dari hatinya, maka hati semakin bersih, suci dan kokoh, sehingga memberi ketenangan dalam hidupnya.

6. Tafakuh fi dien (semangat untuk memahami agama)

ALLAH menjanjikan nikmat bagi umat-NYA yang menuntut ilmu, semakin ia belajar semakin cinta ia kepada agamanya, semakin tinggi cintanya kepada ALLAH dan rasul-NYA. Cinta inilah yang akan memberi cahaya bagi hatinya. Semangat memahami agama akan meng “hidup” kan hatinya, hati yang “hidup” adalah hati yang selalu dipenuhi cahaya nikmat Islam dan nikmat iman.

7. Al-umrul mabruk (umur yang baroqah)

Umur yang baroqah itu adalah umur, yang selalu diisi dengan amal ibadah. Seseorang yang mengisi hidupnya untuk kebahagiaan dunia semata, maka hari tuanya akan diisi dengan banyak nostalgia (berangan-angan) tentang masa mudanya, iapun cenderung kecewa dengan ketuaannya (post-power syndrome).

Sedangkan orang yang mengisi umurnya dengan banyak mempersiapkan diri untuk akhirat (melalui amal ibadah) maka semakin tua semakin rindu ia untuk bertemu dengan Sang Pencipta. Hari tuanya diisi dengan bermesraan dengan Sang Maha Pengasih. Tidak ada rasa takutnya untuk meninggalkan dunia ini, bahkan ia penuh harap untuk segera merasakan keindahan alam kehidupan berikutnya seperti yang dijanjikan ALLAH. Inilah semangat “hidup” orang-orang yang baroqah umurnya.


*http://miftakhurriza.blogspot.com/2011/06/7-kunci-kebahagiaan-di-dunia.html

Apa Makna Jama’ah?



Oleh: Cahyadi Takariawan

Aku ingin menggambarkan makna jama’ah dengan sangat sederhana. Bukan dengan dalil-dalil, karena itu sudah sangat banyak dijelaskan para ulama dan para ustadz. Namun dengan hal-hal praktis yang kita lakukan dalam kehidupan keseharian. Hal-hal mudah yang bisa kita aplikasikan dalam kegiatan.

Dalam Skala Personal

Engkau adalah seorang kader dakwah, seorang aktivis. Dalam dirimu teramat banyak potensi yang Allah berikan, alhamdulillah. Dengan berbagai potensi itu engkau bisa melakukan banyak hal, teramat sangat banyak hal. Engkau bisa mengundang banyak orang untuk datang menghadiri kegiatanmu, engkau bisa mengumpulkan banyak khalayak untuk memenuhi undanganmu. Engkau bisa menggelar ribuan acara dengan nama dan potensimu. Engkau bisa mengatakan, “Sendiri saja, aku bisa melakukan semua ini”.

Memang bisa, dan sangat mudah bagimu.

Namun itu bukan jama’ah. Yang disebut jama’ah adalah ketika engkau tidak bekerja sendirian, kendati engkau sendiri mampu melakukan itu. Yang disebut jama’ah adalah ketika engkau tidak menjalankan semua agenda dakwah sendirian, kendati engkau sendiri yakin bisa melakukan itu; oleh karenanya engkau memerlukan kebersamaan untuk mengemban amanah dakwah.

Yang disebut jama’ah adalah ketika engkau menjadi satu bagian yang utuh dari sebuah kebersamaan, kendati engkau merasa lebih leluasa bekerja sendirian. Yang disebut jama’ah adalah ketika ada visi jama’i, ada manhaj, ada khuthuwat, ada baramij, yang kesemuanya merupakan produk kolektif, bukan produk individu, kendati engkau bisa membuat itu semua sendirian.

Pada Struktur Ranting

Pada struktur lembaga dakwah di tingkat ranting, aku sangat yakin bahwa para aktivis yang berada dalamnya memiliki potensi yang luar biasa hebat. Mereka bisa melakukan sangat banyak aktivitas dakwah di tingkat ranting. Mereka melakukan koordinasi, konsolidasi juga ekspansi. Mereka menggelar program dan kegiatan setiap hari. Mereka melakukan berbagai inovasi dakwah tiada henti.

Mereka menyelenggarakan berbagai kegiatan besar dan mampu menghimpun sangat banyak kalangan. Pada titik ini, struktur dakwah tingkat ranting bisa mengatakan, “Kami bisa berjalan sendiri, tanpa perlu struktur dakwah di tingkat cabang. Toh nyatanya selama ini kami memang telah berjalan sendiri tanpa didampingi struktur cabang”.

Memang bisa, dan sangat mudah bagimu.

Namun itu bukan jama’ah. Yang disebut jama’ah adalah ketika struktur ranting selalu berkoordinasi dengan cabang, kendati mereka merasa mampu melakukan semua kegiatan itu secara mandiri. Yang disebut jama’ah adalah ketika struktur ranting tidak menjalankan semua agenda dakwah sendirian, dan merasa tidak memerlukan struktur cabang, kendati memang mampu menjalankan semuanya sendirian.

Yang disebut jama’ah adalah ketika struktur ranting menjadi bagian yang utuh dari struktur cabang, kendati mereka merasa lebih leluasa bekerja mandiri, tanpa intervensi apapun dari cabang. Yang disebut jama’ah adalah ketika ada arahan, supervisi, koordinasi, dan konsolidasi struktur cabang dengan struktur ranting. Ketika ada kebersamaan yang harmonis antara struktur cabang dengan ranting. Karena sesungguhnya tidak artinya cabang ketika tidak ada ranting, dan begitu pula sebaliknya. Inilah yang disebut jama’ah.

Pada Struktur Cabang

Pada struktur lembaga dakwah di tingkat cabang, aku sangat yakin bahwa para aktivis yang berada dalamnya memiliki potensi yang luar biasa hebat. Mereka bisa melakukan sangat banyak aktivitas dakwah di tingkat cabang. Mereka melakukan koordinasi, konsolidasi juga ekspansi. Mereka menggelar program dan kegiatan setiap hari. Mereka melakukan berbagai inovasi dakwah tiada henti.

Mereka menyelenggarakan berbagai kegiatan besar dan mampu menghimpun sangat banyak kalangan. Pada titik ini, struktur dakwah tingkat cabang bisa mengatakan, “Kami bisa berjalan sendiri, tanpa perlu struktur dakwah di tingkat daerah. Toh nyatanya selama ini kami memang telah berjalan sendiri tanpa didampingi struktur daerah”.

Memang bisa, dan sangat mudah bagimu.

Namun itu bukan jama’ah. Yang disebut jama’ah adalah ketika struktur cabang selalu berkoordinasi dengan pengurus daerah, kendati mereka merasa mampu melakukan semua kegiatan itu secara mandiri. Yang disebut jama’ah adalah ketika struktur cabang tidak menjalankan semua agenda dakwah sendirian, dan merasa tidak memerlukan struktur daerah, kendati memang mampu menjalankan semuanya sendirian.

Yang disebut jama’ah adalah ketika struktur cabang menjadi bagian yang utuh dari struktur daerah, kendati mereka merasa lebih leluasa bekerja mandiri, tanpa intervensi apapun dari pengurus daerah. Yang disebut jama’ah adalah ketika ada arahan, supervisi, koordinasi, dan konsolidasi struktur daerah dengan struktur cabang. Ketika ada kebersamaan yang harmonis antara struktur daerah dengan cabang. Karena sesungguhnya tidak artinya daerah ketika tidak ada cabang, dan begitu pula sebaliknya. Inilah yang disebut jama’ah.

Pada Struktur Daerah

Aku juga sangat yakin, pada struktur lembaga dakwah di tingkat daerah, para aktivis yang berada dalamnya memiliki potensi yang luar biasa hebat. Mereka bisa melakukan sangat banyak aktivitas dakwah di tingkat daerah. Mereka melakukan koordinasi, konsolidasi juga ekspansi. Mereka menggelar program dan kegiatan setiap hari. Mereka melakukan berbagai inovasi dakwah tiada henti.

Mereka menyelenggarakan berbagai kegiatan besar dan mampu menghimpun sangat banyak kalangan. Pada titik ini, struktur dakwah tingkat daerah bisa mengatakan, “Kami bisa berjalan sendiri, tanpa perlu struktur dakwah di tingkat wilayah. Toh nyatanya selama ini kami memang telah berjalan sendiri tanpa didampingi struktur wilayah”.

Memang bisa, dan sangat mudah bagimu.

Namun itu bukan jama’ah. Yang disebut jama’ah adalah ketika struktur daerah selalu berkoordinasi dengan pengurus wilayah, kendati mereka merasa mampu melakukan semua kegiatan itu secara mandiri. Yang disebut jama’ah adalah ketika struktur daerah tidak menjalankan semua agenda dakwah sendirian, dan merasa tidak memerlukan struktur wilayah, kendati memang mampu menjalankan semuanya sendirian.

Yang disebut jama’ah adalah ketika struktur daerah menjadi bagian yang utuh dari struktur wilayah, kendati mereka merasa lebih leluasa bekerja mandiri, tanpa intervensi apapun dari pengurus wilayah. Yang disebut jama’ah adalah ketika ada arahan, supervisi, koordinasi, dan konsolidasi struktur wilayah dengan struktur daerah. Ketika ada kebersamaan yang harmonis antara struktur wilayah dengan daerah. Karena sesungguhnya tidak artinya wilayah ketika tidak ada daerah, dan begitu pula sebaliknya. Inilah yang disebut jama’ah.

Pada Struktur Wilayah

Aku sangat yakin, pada struktur lembaga dakwah di tingkat wilayah, para aktivis yang berada dalamnya memiliki potensi yang luar biasa hebat. Mereka bisa melakukan sangat banyak aktivitas dakwah di tingkat wilayah. Mereka melakukan koordinasi, konsolidasi juga ekspansi. Mereka menggelar program dan kegiatan setiap hari. Mereka melakukan berbagai inovasi dakwah tiada henti.

Mereka menyelenggarakan berbagai kegiatan besar dan mampu menghimpun sangat banyak kalangan. Pada titik ini, struktur dakwah tingkat wilayah bisa mengatakan, “Kami bisa berjalan sendiri, tanpa perlu struktur dakwah di tingkat pusat. Toh nyatanya selama ini kami memang telah berjalan sendiri tanpa didampingi struktur pusat”.

Memang bisa, dan sangat mudah bagimu.

Namun itu bukan jama’ah. Yang disebut jama’ah adalah ketika struktur wilayah selalu berkoordinasi dengan pengurus pusat, kendati mereka merasa mampu melakukan semua kegiatan itu secara mandiri. Yang disebut jama’ah adalah ketika struktur wilayah tidak menjalankan semua agenda dakwah sendirian, dan merasa tidak memerlukan struktur pusat, kendati memang mampu menjalankan semuanya sendirian.

Yang disebut jama’ah adalah ketika struktur wilayah menjadi bagian yang utuh dari struktur pusat, kendati mereka merasa lebih leluasa bekerja mandiri, tanpa intervensi apapun dari pengurus pusat. Yang disebut jama’ah adalah ketika ada arahan, supervisi, koordinasi, dan konsolidasi struktur pusat dengan struktur wilayah. Ketika ada kebersamaan yang harmonis antara struktur pusat dengan wilayah. Karena sesungguhnya tidak artinya pusat ketika tidak ada wilayah, dan begitu pula sebaliknya. Inilah yang disebut jama’ah.

Inilah Jama’ah


Ya, inilah bangunan jama’ah itu. Ketika semua bagian saling terkait, saling menyatu, saling menjadi bagian utuh dengan bagian lainnya. Setiap bagian sama pentingnya, seperti kita memahami bagian manakah yang penting dari mobil. Roda sama pentingnya dengan kemudi, rem sama pentingnya dengan gas, oli sama pentingnya dengan bahan bakar. Semua bagian menjadi pembentuk bangunan utuh dari jama’ah. Jika berkurang satu bagian, akan berdampak secara sistemik bagi kegiatan dan kehidupan jama’ah.

“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam berkasih sayang bagaikan satu tubuh, apabila satu anggota badan merintih kesakitan maka sekujur badan akan merasakan panas dan demam” (HR. Muslim).

Semua dari kita memiliki potensi dan kemampuan yang hebat, alhamdulillah. Namun sehebat apapun potensi itu, menjadi kurang bermakna ketika tidak diwadahi jama’ah. Engkau mungkin kurang sabar dalam mengikuti ritme hidup berjama’ah, karena ada aturan, ada panduan, ada pedoman, ada keputusan yang harus dilakukan. Engkau mungkin merasa bosan dengan berbagai agenda hidup berjama’ah yang tampak lamban, padahal engkau bisa melakukan berbagai hal lebih cepat.

Memang bisa, dan sangat mudah bagimu.

Namun itu bukan jama’ah. Karena jama’ah artinya keterpaduan, kesatuan, keharmonisan, kebersamaan, kesediaan, kerelaan, empati, dan keteraturan. Karena jama’ah artinya perencanaan. koordinasi, konsolidasi, pengaturan, manajemen, komando, pengawasan serta evaluasi. Karena jama’ah artinya penyatuan hati, perasaan, pikiran, dan kegiatan. Karena jama’ah artinya kasih sayang, kelembutan, ketegasan, kedisiplinan dan keserasian.

Karena jama’ah artinya cinta.

nDalem Mertosanan, 6 Januari 2012


*) http://cahyadi-takariawan.web.id/?p=2053

*posted by: Blog PKS PIYUNGAN - Bekerja Untuk Kejayaan Indonesia

Kontribusikan Semua Potensi untuk Dakwah dan Jama’ah


Oleh: Cahyadi Takariawan

“Semua yang dimiliki kader harus bisa dikontribusikan untuk dakwah dan jama’ah. Jika kita punya rumah, harus ada kontribusi rumah untuk kegiatan dakwah dan jama’ah. Jika punya mobil, harus ada kontribusinya untuk dakwah dan jama’ah. Jika punya motor, harus ada kontribusinya untuk dakwah dan jama’ah. Dengan cara itulah kegiatan dakwah akan terus berjalan dengan lancar dan berkesinambungan”, demikian tausiyah dari ustadz Subaryanto, dalam acara Forum Silaturahmi Kader Dakwah Banguntapan, Bantul, DIY, Senin 13 Februari 2012.

Tausiyah ini sangat penting dan mendalam. Ada pertanyaan besar yang sering disampaikan orang, mengapa kita bisa memiliki banyak kegiatan, bersambung dari satu kegiatan ke kegiatan berikutnya, seakan tidak pernah berhenti dan istirahat. Pertanyaan mereka lebih ke arah, “Berapa banyak uang yang dikeluarkan untuk berbagai kegiatan tersebut?” Ternyata kita sendiri bahkan tidak pernah menghitungnya, karena kita melakukan saja, bekerja saja, berkegiatan saja, tanpa pernah menghitung dengan rinci semua pengeluaran kita.

Lihatlah tradisi dakwah dan jama’ah yang sudah kita bangun selama ini. Pertemuan dilakukan dari rumah ke rumah, sekaligus silaturahim antar kader dakwah. Saat menghadiri pertemuan, kita datang dengan mengendarai motor, mobil, atau menggunakan angkutan umum. Kita tidak pernah meminta ganti atas semua yang kita keluarkan secara pribadi, demi kelancaran kegiatan dakwah. Inilah salah satu cara untuk mengkontribusikan semua potensi yang kita miliki untuk dakwah dan jama’ah.

Coba jika dihitung dengan teliti, berapa banyak dana yang telah kita keluarkan untuk satu pertemuan. Tempat pertemuan gratis, karena tidak perlu menyewa. Rumah kader bisa kita gunakan sebagai tempat pertemuan, bahkan di garasi atau di halaman belakang rumah pun bisa. Tuan rumah dengan suka rela menyediakan minuman dan makanan, sebagaimana tradisi menjamu tamu pada umumnya. Masih ditambah berbagai sarana seperti tikar, karpet, atau kursi dan meja, serta fasilitas pertemuan ala kadarnya yang dimiliki tuan rumah. Tempat pertemuan gratis, jamuan gratis, fasilitas gratis.

Para peserta datang sendiri, tanpa meminta ganti ongkos transport. Jika harus mengganti ongkos transport, maka akan terkumpul jumlah yang cukup besar, karena kader datang dari berbagai tempat yang berjauhan. Namun kehadiran kader dalam sebuah pertemuan dakwah, lebih sering tidak dikaitkan dengan ongkos transport, karena sudah menjadi tradisi rutin yang berjalan selama ini. Semua datang dengan kecintaan, semangat, pengorbanan dan harapan. Dengan demikian untuk satu pertemuan, hampir tidak ada dana yang perlu dikeluarkan karena semua sudah ditanggung oleh masing-masing kader yang menjadi peserta.

Kecuali untuk acara tertentu yang berskala nasional, memang ada sedikit “hitungan” yang berbeda, karena ada renik-renik dan unsur publisitas tertentu yang ingin dimunculkan. Secara umum, sekian banyak agenda dakwah yang telah berjalan rutin selama ini, menjadi tanggungan setiap kader, tanpa ada “hitungan” ganti. Semua kader memahami, ganti akan diberikan secara langsung oleh Allah dalam jumlah yang berlipat, jauh lebih banyak dari apa yang mereka kontribusikan.

Logika seperti ini sepertinya sulit dipahami masyarakat pada umumnya, bahwa ada banyak agenda kegiatan organisasi bisa berjalan dengan baik dan rutin, tanpa perlu kucuran dana dari organisasi. Biasanya, pada organisasi secara umum, setiap agenda kegiatan, selalu menimbulkan anggaran. Semakin banyak kegiatan, semakin besar pula anggaran yang harus dikeluarkan. Kenyataannya, ketika tidak disediakan anggaran, kegiatan tidak bisa berjalan. Tidak begitu dengan organisasi dakwah. Logika yang berkembang adalah tadhiyah, sedangkan tadhiyah muncul dari kepahaman dan keikhlasan.

Tausiyah ustadz Subaryanto tersebut mengingatkan kita semua tentang urgensi kontribusi. Kader telah terbiasa dengan jalan kontribusi, bahkan bagi mereka, hal ini sudah tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan lagi. Kontribusi sudah menjadi akhlak, sudah menjadi aktivitas spontan, dan harian. Tidak perlu berpikir apakah akan meminjamkan ruangan untuk pertemuan, tidak perlu pertimbangan apakah akan meminjamkan mobil untuk perjalanan dakwah, tidak perlu merenung untuk memberikan fasilitas guna kelancaran kegiatan dakwah dan jama’ah. Semua sudah berjalan dengan sendirinya, tanpa dihitung-hitung dan diingat-ingat.

Setiap kader dakwah tidak pernah mengingat dan tidak memiliki catatan pribadi, berapa ratus ribu liter bensin telah dikeluarkan untuk kegiatan dakwah dan jamaah. Berapa juta kilometer jalan pernah ditempuh dalam menunaikan amanah dakwah. Berapa ribu kali meminjamkan motor atau mobil untuk kepentingan dakwah dan jama’ah. Berapa ribu kali menyediakan rumahnya untuk tempat kegiatan dakwah dan jama’ah. Berapa banyak uang telah dikeluarkan untuk kelancaran dakwah. Berapa banyak tenaga telah dikeluarkan guna menunaikan amanah dakwah.

Semua tidak dihitung, semua tidak diingat, semua tidak dicatat. Semua dikerjakan sepenuh kecintaan, sepenuh kesadaran, sepenuh kepahaman. Semua dikeluarkan dengan harapan akan mendapatkan balasan terbaik dari sisi Allah. Semua dikeluarkan tanpa perasaan menyesal. Hal ini bisa terjadi, karena kader memahami bahwa kontribusi adalah kunci keberlanjutan dakwah dan jama’ah. Kontribusi adalah jalan menuju kemenangan. Kontribusi adalah kekuatan.

Sungguh, kontribusi telah menjadi jalan hidup kami.

Pilkada yang Menggerakkan



Oleh Cahyadi Takariawan
___________


He tangi, tangi…. iku bosmu sido ndaftar Gubernur Jakarta !

Suara melalui handphone itu demikian keras di telinga Yunus, seorang kader di Palu, Sulawesi Tengah. Jam 24.00 WITA, Yunus yang sudah tidur menjadi terbangun karena telpon genggamnya berdering. Rupanya saudaranya dari Banyuwangi menelpon dengan luapan kegembiraan, karena tengah menyaksikan berita di televisi proses pendaftaran Hidayat Nurwahid ke KPUD DKI Jakarta untuk calon Gubernur, berpasangan dengan Didik J. Rachbini.

“Alhamdulillah, sampeyan ngerti seko ngendi ?” tanya Yunus.

“Mulo ndang tangiyo, aku yo isih nonton tivi, lagi ono beritane bosmu iku…”, jawab saudaranya di Banyuwangi. Yang disebut dengan “bosmu” adalah Hidayat Nurwahid.

Keluarga Yunus yang berada di Banyuwangi merasa demikian bersyukur, karena tokoh yang sangat mereka kagumi, Hidayat Nurwahid, mendaftar menjadi calon Gubernur DKI. Sedemikian gembiranya, mereka tidak sabar berbagi, langsung menelpon Yunus yang telah istirahat di Palu. Yunus mereka kenal sebagai aktivis PKS, sementara keluarga yang di Banyuwangi merupakan warga masyarakat biasa, bukan kader.

Semua Bersyukur


Keluarga Yunus hanyalah salah satu kisah dari sangat banyak kisah serupa. Saya mendengar banyak kader di wilayah DKI melakukan sujud syukur setelah pasangan HNW – Didik resmi mendaftar di KPUD. Mereka sangat bersyukur karena tokoh yang kharismatik ini bisa maju sebagai calon Gubernur DKI. “Kami semua sangat terharu, dan bersyukur beliau berhasil menjadi calon Gubernur. Kami semua siap bekerja memenangkan beliau”, ungkap seorang kader senior di DKI.

Jika banyak kader di DKI melakukan sujud syukur, tentu wajar, karena perhelatannya memang terjadi di wilayah DKI. Namun ternyata yang merasakan kegembiraan bukan hanya kader DKI, bahkan kader di luar DKI yang tidak akan bisa ikut memilih saat Pilkada DKI. Juga bukan hanya kader, termasuk simpatisan dan masyarakat umum ikut merasakan kegembiraan. Contohnya adalah keluarga Yunus di Banyuwangi. Demikian jauh dari Jakarta, dan tidak akan bisa ikut memilih saat Pilkada DKI karena tidak tinggal di Jakarta, namun kegembiraannya demikian membuncah.

Yunus pun segera membangunkan isterinya, dan mereka berdua dengan antusias menyaksikan berita televisi tentang pendaftaran pasangan HNW – Didik di KPUD DKI. Mereka merasa sangat berbahagia, dan ikut merasakan semangat yang membara ingin terlibat memperjuangkan kemenangannya. Yunus tinggal di Sulawesi Tengah, namun ia tergerak untuk memberikan dukungan dalam bentuk apapun yang bisa dilakukannya.

“Saya akan mengontak teman dan kerabat saya yang tinggal di wilayah Jakarta, agar memilih pasangan HNW – Didik”, ungkap Yunus.

Demikian pula Zuhrif, kader yang tinggal di wilayah Kota Yogyakarta. “Saya sudah mengontak 22 keluarga saya yang tinggal di Jakarta, agar kelak memilih HNW – Didik dalam Pilkada”, katanya penuh semangat. Bahkan, ia menyempatkan diri hadir ke Jakarta agar bisa menyaksikan proses pendaftaran HNW – Didik ke KPUD DKI secara langsung. Jauh-jauh ia menempuh perjalanan agar tidak ketinggalan peristiwa yang monumental tersebut.

Falah, seorang kader dari Sleman DIY tidak mau ketinggalan. Dia mengirim pesan lewat grup BBM, “DPW PKS DIY harus segera membuat instruksi agar seluruh kader DIY mensukseskan Pilkada DKI, dengan jalan dukungan doa, tenaga, dan mengontak teman serta kerabat yang tinggal di wilayah Jakarta untuk memenangkan HNW”.

Luar biasa, bahkan SMS dari banyak kader di berbagai daerah, menunjukkan suasana semangat yang sangat membara. Berikut contoh kiriman SMS yang masuk ke handphone saya, dari berbagai daerah di Indonesia:

“Allahu Akbar ! Inilah saatnya memimpin Jakarta”.

“HNW memimpin Indonesia, melalui DKI Jakarta”.

“Allah beserta kita”.

“Kita bangkit bersama, menangkan HNW di DKI Jakarta”.

“Menuju RI – 1, melalui DKI – 1”.

Masih banyak contoh SMS lainnya yang sedemikian semangat menyambut pendaftaran HNW menjadi calon Gubernur DKI Jakarta. Semua bersyukur atas pencalonan HNW, dan ingin terlibat memenangkannya.

Pilkada yang Menggerakkan


Fenomena semangat yang menggelora sangat terasa. Semua kader ingin segera bekerja, seakan Pilkada tinggal besok pagi saja. Semua merasa tidak sabar untuk segera memenangkannya. Pilkada DKI telah menggerakkan semangat, motivasi, dan kebersamaan kader di seluruh Indonesia. Bukan hanya DKI Jakarta dan sekitarnya, namun merata sampai seluruh wilayah dan daerah.

Benar-benar Pilkada yang menggerakkan. Seakan ada sesuatu yang turun dari langit, dan menyentak perhatian kader. Kita harus segera bekerja, dan kita sudah siap untuk bergerak lebih keras dari sebelumnya. Seorang kader secara bergurau mengirim SMS kepada saya, “Berterimakasihlah kepada Foke, karena dia tidak jadi berpasangan dengan kita, sehingga kita justru bisa maju sendiri. Ini akan membuat kita solid.”

Fenomena tergerakkannya kader ini sedemikian merata. Bukan hanya di DKI Jakarta. Bahkan semua struktur wilayah menyatakan siap membuat Posko Pemenangan di Jakarta. Sebagaimana diketahui, Jakarta dihuni oleh masyarakat dari berbagai etnis dan susku bangsa. Maka semua wilayah menyatakan siap membuat Posko Pemenangan dalam rangka mengajak warga asal wilayah masing-masing untuk memilih HNW dalam Pilkada Jakarta.

Tidak perlu instruksi, tidak perlu taklimat. Semangat sudah merata. Seorang kader senior di Yogyakarta menangis, karena hanya bisa membaca berita melalui milis dan SMS tentang persiapan pemenangan Pilkada DKI Jakarta, dan ia merasa tidak bisa membantu apa-apa kecuali doa. Lihatlah, bahkan kader yang tidak tinggal di Jakarta saja merasa berdosa karena tidak bisa memberikan bantuan tenaga. Pilakada Jakarta benar-benar menggerakkan kader dan struktur semuanya.

Banyak kader yang tinggal di luar Jakarta bertanya, “Apa yang bisa kita lakukan selain doa?” Masyaallah, pertanyaan yang menandakan kecintaan. Pertanyaan yang menunjukkan telah tergerakkan. “Kami tidak bisa hanya diam saja dan menonton berita. Kami harus ke sana”, ungkap seorang kader di kecamatan Banguntapan, Bantul, Yogyakarta dengan penuh semangat menggelora. “Kami akan menangis kalau hanya melihat berita”, katanya.

Subhanallah, walhamdulillah. Belum pernah saya menyaksikan Pilkada yang sangat heroik seperti di DKI Jakarta. Baru berita pendaftaran di KPUD saja, sudah menggerakkan semangat yang membara. Ikatan emosi yang demikian kuat tercurahkan, dan semua ingin bekerja memenangkan Pilkada Jakarta.

Seorang kader di wilayah Jawa Tengah dengan semangat menggelora mengatakan telah membuat tim kecil yang akan dikirim ke Jakarta, melakukan “operasi” ke masyarakat Jawa Tengah yang tinggal di Jakarta. “Operasi ini kami biayai sendiri. Ini bentuk kontribusi kami bagi kemenangan dakwah di DKI”, kata kader tersebut. Sayapun dibuat menangis oleh pernyataan ini.

Subhanallah walhamdulillah. Tadi sore melihat gambar HNW sedang rapat menyusun langkah kemenangan bersama tim, melalui grup BBM. Sayapun kembali menitikkan air mata. Gambar-gambar semacam itu telah memberikan banyak cerita. Gambar dan berita Pilkada Jakarta telah menggerakkan hati kita, nurani kita, semangat kita, kecintaan kita, kebersamaan kita, kesungguhan kita, perjuangan kita.

Subhanallah walhamdulillah. Semoga Allah berikan kemenangan dan kebaikan dalam perjuangan dakwah di DKI Jakarta.**


*http://cahyadi-takariawan.web.id/?p=2268