21 Maret 2016

[Opini] Masih Perlukah Rangking Buat Anak Sekolah Dibuat?


Boyolali (19/3) - Sabtu (19/3) ada penerimaan rapor. Salah seorang wali murid tampak begitu ceria. Bukan. Bukan karena anaknya juara kelas. Si anak menempati peringkat ke-22 dari dua puluh enam siswa. Sebuah peringkat yang tidak memuaskan bagi sebagaian orang, tapi tidak bagi bapak ini. Kebahagiaannya bukan pada peringkat berapa anaknya berada tapi pada kemajuan perkembangannya yang cukup signifikan. Dengan itu beliau berharap tahapan selanjutnya bisa lebih baik sehingga jarak dengan teman-temannya tidak jauh, syukur bisa melampaui.

Belum sempat bunga kebahagiaan itu berkembang, tiba-tiba ada yang merontokkan. Salah seorang wali murid dengan bangga menceritakn nilai anaknya yang rata-rata 9. Mendengar itu saja sudah cukup membuat hati iri apalagi yang ini ditambah dengan pertanyaan ranking berapa anaknya? Bunga kebahagiaan itu seketika layu. Tentu saja orang tua yang anaknya berprestasi tidak bermaksud pamer atau menyinggung karena obrolan semacam itu hal yang wajar.

Sungguh, rapor tidak akan pernah sanggup menggambarkan kecerdasan anak. Potensi kecerdasan mereka terlalu murah jika hanya dihargai angka-angka di kertas. Ada banyak kecerdasan yang tidak terwakili peringkat rapor. Ini yang semestinya dipahami, terutama orang tua sehingga tidak minder kala sang anak nilai akademiknya kurang.

Kesuksesan anak bukan terletak pada tingginya peringkat di kelas. Anak yang tadinya belum bisa baca kemudian bisa, itulah kesuksesannya. Yang kurang sopan, keberhasilannya adalah jika tingkat kesopanannya membaik. Orang tua semestinya tidak membandingkan prestasi anak dengan anak lain. Maksud hati memang memotivasi tapi sejatinya ia sedang meruntuhkan kepercayaan diri anak. Karena secara fitrah tidak ada orang yang suka dibandingkan dengan orang lain. Kalau mau membandingkan, bandingkanlah anak dengan prestasi terbaik anak bersangkutan.

Cerita tadi membuat saya berfikir lama, masih perlukah ranking dibuat?

Oleh: Andi Ardianto (Praktisi pendidikan)