21 April 2016

Mengenal Sosok Kartini


“Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama disukai”
(Surat Kartini bertanggal 21 Juli 1902 kepada Ny. Van Kol)

Memiliki nama lengkap Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat dan terlahir dari keturunan ningrat. Ayahnya merupakan seorang bupati Jepara dan ibunya seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara (kandung dan tiri) dan merupakan anak perempuan tertua.

Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV adalah salah satu bupati pertama yang memberi pendidikan Barat kepada anak-anaknya, hingga Kartini bersekolah di ELS (Europese Lagere School) –setingkat Sekolah Dasar-, selama 12 tahun. Setelah usia ini beliau  harus menjalani masa pingitan hingga sampai waktunya untuk menikah.

Membaca menjadi kegemarannya

Kegemarannya membaca membuat pemikirannya terbuka lebar. Buku-buku, koran dan majalah berbahasa Eropa kala itu dilahapnya. Setiap kali ia membaca ia akan membuat catatan-catatan. Hal ini yang membuat wawasan luas dan pemikirannya mendalam.

Perhatiannya lebih kepada pendidikan kaum perempuan pribumi yang waktu itu dalam status sosial yang rendah. Ia ingin memajukan perempuan Indonesia melalui pendidikan. Beliau mendirikan sekolah bagi gadis-gadis di Jepara. Muridnya hanya berjumlah 9 orang yang terdiri dari kerabat atau famili. Setelah menikah, Kartini diberi kebebasan dan didukung oleh suaminya mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, (kini digunakan sebagai Gedung Pramuka).

Dalam kondisi penjajahan dan kungkungan adat istiadat waktu itu kartini telah memikirkan hak-hak perempuan. Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Beliau dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.

Spritualitas Kartini

“Selama ini Al-Fatihah gelap bagi saya.  Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari  ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya,  sebab Romo Kyai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa  yang saya pahami.”. (Kartini)

Ketika berkunjung ke rumah pamannya, seorang Bupati Demak, Kartini menyempatkan diri mengikuti pengajian yang diberikan oleh Kyai Sholeh Darat. Saat itu beliau sedang mengajarkan tafsir Surat al-Fatihah. Pertemuan ini menjadikan sisi keagamaannya semakin tumbuh.

Dalam dialognya dengan Kyai Sholeh, Kartini menyampaikan begitu tergetar hatinya ketika mendengarkan tafsir surah al-Fatihah yang disampaikan oleh sang Kyai. Hingga meminta sang Kyai untuk menterjemahkan dan menafsirkan al-Quran dalam bahasa Jawa.

Dalam pemikirannya tidak ada gunanya membaca kitab suci yang tidak diketahui artinya. Kartini meminta agar al-Quran diterjemahkan walaupun pada waktu itu penjajah Belanda secara resmi melarang penerjemahan al-Quran. Beliau juga menyampaikan “Bukankah Al Quran adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”

Beliau menerjemahkan Qur’an dengan ditulis dalam huruf “arab gundul” (pegon) sehingga tak dicurigai penjajah. Kitab tafsir dan terjemahan al-Quran ini diberi nama Kitab Faidhur-Rohman, tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab (pegon).

Surah yang diterjemahkan Kyai Sholeh adalah Al Fatihah sampai Ibrahim. Kartini mempelajarinya secara serius. , hampir di setiap waktu luangnya. Namun sayangnya penerjemahan Kitab Faidhur-Rahman ini tidak selesai karena Mbah Kyai Sholeh Darat wafat. Kitab ini pula yang dihadiahkannya kepada Kartini pada saat dia menikah  dengan R.M. Joyodiningrat.

Habis Gelap Terbitlah Terang

Orang-orang beriman dibimbing Allah dari gelap menuju cahaya
(Q.S. al-Baqarah: 257).

Firman Allah SWT inilah yang menjadi asal muasal buku “Habis gelap terbitlah terang”. Ayat ini sangat menyentuh hati Kartini hingga Ia tulis dalam banyak suratnya kepada Abendanon.

Lalu dalam surat ke Ny Abendanon, bertanggal 1 Agustus 1903, Kartini menulis;
Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah.

Kartini banyak mengulang kata “Dari gelap menuju cahaya” yang ditulisnya dalam bahasa Belanda: “Door Duisternis Toot Licht.”. Oleh Armijn Pane ungkapan ini diterjemahkan menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang,” yang menjadi judul untuk buku kumpulan surat-menyuratnya.