“Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra
Islam, yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat
rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama disukai”
(Surat Kartini bertanggal 21 Juli 1902 kepada Ny. Van Kol)
Memiliki nama lengkap Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat dan terlahir dari keturunan
ningrat. Ayahnya merupakan seorang bupati Jepara dan ibunya seorang guru agama
di Telukawur, Jepara. Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara (kandung dan
tiri) dan merupakan anak perempuan tertua.
Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV adalah salah satu
bupati pertama yang memberi pendidikan Barat kepada anak-anaknya, hingga
Kartini bersekolah di ELS (Europese Lagere School) –setingkat Sekolah Dasar-,
selama 12 tahun. Setelah usia ini beliau
harus menjalani masa pingitan hingga sampai waktunya untuk menikah.
Membaca
menjadi kegemarannya
Kegemarannya membaca membuat pemikirannya terbuka lebar.
Buku-buku, koran dan majalah berbahasa Eropa kala itu dilahapnya. Setiap kali
ia membaca ia akan membuat catatan-catatan. Hal ini yang membuat wawasan luas
dan pemikirannya mendalam.
Perhatiannya lebih kepada pendidikan kaum perempuan pribumi
yang waktu itu dalam status sosial yang rendah. Ia ingin memajukan perempuan
Indonesia melalui pendidikan. Beliau mendirikan sekolah bagi gadis-gadis di
Jepara. Muridnya hanya berjumlah 9 orang yang terdiri dari kerabat atau famili.
Setelah menikah, Kartini diberi kebebasan dan didukung oleh suaminya mendirikan
sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten
Rembang, (kini digunakan sebagai Gedung Pramuka).
Dalam kondisi penjajahan dan kungkungan adat istiadat waktu
itu kartini telah memikirkan hak-hak perempuan. Kartini meninggal pada usia 25
tahun. Beliau dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.
Spritualitas
Kartini
“Selama ini Al-Fatihah gelap bagi saya. Saya
tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari ini ia menjadi
terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab Romo Kyai telah
menerangkannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami.”. (Kartini)
Ketika berkunjung ke rumah pamannya, seorang Bupati
Demak, Kartini menyempatkan diri mengikuti pengajian yang diberikan oleh Kyai
Sholeh Darat. Saat itu beliau sedang mengajarkan tafsir Surat al-Fatihah.
Pertemuan ini menjadikan sisi keagamaannya semakin tumbuh.
Dalam dialognya dengan
Kyai Sholeh, Kartini menyampaikan begitu tergetar hatinya ketika mendengarkan
tafsir surah al-Fatihah yang disampaikan oleh sang Kyai. Hingga meminta sang
Kyai untuk menterjemahkan dan menafsirkan al-Quran dalam bahasa Jawa.
Dalam pemikirannya tidak
ada gunanya membaca kitab suci yang tidak diketahui artinya. Kartini meminta
agar al-Quran diterjemahkan walaupun pada waktu itu penjajah Belanda secara
resmi melarang penerjemahan al-Quran. Beliau juga menyampaikan “Bukankah Al
Quran adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”
Beliau menerjemahkan
Qur’an dengan ditulis dalam huruf “arab gundul” (pegon) sehingga tak dicurigai
penjajah. Kitab tafsir dan terjemahan al-Quran ini diberi nama Kitab
Faidhur-Rohman, tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa
Jawa dengan aksara Arab (pegon).
Surah yang diterjemahkan Kyai Sholeh adalah Al
Fatihah sampai Ibrahim. Kartini mempelajarinya secara serius. , hampir di
setiap waktu luangnya. Namun sayangnya penerjemahan Kitab
Faidhur-Rahman ini tidak selesai karena Mbah Kyai Sholeh
Darat wafat. Kitab ini pula yang
dihadiahkannya kepada Kartini pada saat dia menikah dengan R.M.
Joyodiningrat.
Habis Gelap Terbitlah Terang
Orang-orang beriman dibimbing Allah dari
gelap menuju cahaya
(Q.S.
al-Baqarah: 257).
Firman Allah SWT inilah
yang menjadi asal muasal buku “Habis gelap terbitlah terang”. Ayat ini sangat
menyentuh hati Kartini hingga Ia tulis dalam banyak suratnya kepada Abendanon.
Lalu dalam
surat ke Ny Abendanon, bertanggal 1 Agustus 1903, Kartini menulis;
Ingin benar
saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah.