18 September 2014

Kesederhanaan Pejabat ini Perlu Diteladani


Seharusnya para pejabat Indonesia saat ini perlu mengingat kisah keteladanan menteri zaman dahulu. Gaya sederhana mereka patut ditiru dan diacungi jempol karena tak jarang selalu menolak kemewahan saat menjabat posisi penting di pemerintahan.

Berikut beberapa kisah keteladanan menteri-menteri Indonesia zaman dulu seperti dirangkum merdeka.com

1. Bung Hatta, malu jemput ibunda pakai mobil dinas

Kisah tentang Bung Hatta dan mobil dinasnya ini diceritakan oleh pengusaha Hasjim Ning dalam otobiografinya karangan AA Navis. Hasjim Ning juga merupakan keponakan Bung Hatta.

Hasjim Ning bercerita tentang Bung Hatta yang dikenal sebagai pemimpin berjiwa bersih, jujur, dan sederhana. Cerita ini terjadi pada awal tahun 1950, saat itu Indonesia dalam bentuk Republik Indonesia Serikat, disingkat RIS, negara federasi yang berdiri pada tanggal 27 Desember 1949 sebagai hasil kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar.

Bung Hatta bertindak sebagai perdana menteri sementara presiden adalah Bung Karno. Pada suatu hari, Bung Hatta kangen dengan ibundanya yang sudah lama tidak ditemui. Hasjim Ning diminta Bung Hatta untuk menjemput ibundanya, Ibu Saleha atau dipanggil Hasjim dengan sebutan Mak Tuo ke Sumedang, Jawa Barat.

Dalam pikiran Hasjim Ning, seharusnya Bung Hatta sebagai anak yang datang menjemput ibunya. Sebagai perdana menteri, hal itu akan baik bagi pamor Bung Hatta. Terutama apabila dalam kunjungan turut disertakan para wartawan. Dalam pikiran Hasjim Ning juga, Ibu Saleha akan sangat bahagia apabila mendapat kunjungan dari anaknya yang menjabat perdana menteri.

Namun, Hasjim tidak bisa menyampaikan pikirannya itu kepada Bung Hatta. "Sebab aku maklum, apabila Bung Hatta telah berkata, kata-katanya itu sudah ia pikirkan dengan seksama. Maka ia tidak akan mengubahnya," demikian Hasjim Ning.

Namun, Hasjim mengusulkan agar Mak Tuo dijemput dengan mobil Bung Hatta sendiri. Maksud Hasjim, biar Mak Tuo senang dan bangga.

Apa jawaban Bung Hatta? "Tidak bisa. Pakai saja mobil Hasjim," kata Bung Hatta. Menurut Hasjim, apa salahnya ibunda seorang perdana menteri naik mobil anak kandungnya? Siapa tidak akan setuju? Rakyat juga akan menerima dengan wajar karena menghormati pemimpinnya.

Alasan Bung Hatta menunjukkan betapa bersih dan jujur jiwanya. "Mobil itu bukan kepunyaanku. Mobil itu milik negara," kata Bung Hatta.

Begitulah Bung Hatta, sosok yang selalu merasa bersalah jika menyalahgunakan wewenang dan fasilitas negara yang diberikan kepadanya. Dia tidak mau fasilitas negara digunakan untuk kepentingan pribadi.

2. Mohammad Natsir, menteri berkemeja usang

ika pejabat lain sibuk memperkaya diri, maka Mohammad Natsir adalah pengecualian. Natsir sederhana dan teguh. Sosoknya menjadi teladan sepanjang zaman.

Natsir menjabat menteri penerangan tahun 1946 dan perdana menteri Indonesia tahun 1950-1951. Dengan dua jabatan mentereng itu, seharusnya Natsir bisa hidup mewah. Tapi hidupnya jauh dari kaya. Saat itu Natsir hanya memiliki sebuah mobil De Soto yang sudah tua. Mobil itu susah payah dibelinya dengan menabung bertahun-tahun.

Dalam 'Seri Buku Tempo, Natsir, politik santun di antara dua rezim' dikisahkan suatu hari ada seorang tamu yang datang ke rumah Natsir. Tamu itu berniat memberikan sebuah mobil Chevrolet Impala. Pada tahun 1956 mungkin Chevrolet Impala itu sekelas Toyota Royal Saloon yang biasa digunakan pejabat RI saat ini.

Anak-anak Natsir yang menguping pembicaraan tamu dan ayah mereka, sangat gembira. Terbayang betapa nikmatnya mengendarai Chevrolet Impala yang besar dan mewah itu. Tapi harapan mereka buyar. Natsir dengan halus menolak pemberian itu. Lemaslah mereka.

"Mobil itu bukan hak kita. Lagipula yang ada masih cukup," ujar Natsir menghibur anak-anaknya. Saat itu Natsir masih menjadi pejabat negara. Dia masih menjadi Ketua Fraksi Masyumi. Kontras benar dengan gaya para pemimpin fraksi saat ini yang bergaya necis dan bermobil mentereng.

Bukan hanya mobil, keluarga Natsir pun kesulitan membeli rumah. Saat menjadi menteri bertahun-tahun mereka harus menumpang hidup di paviliun sahabat Natsir, Prawoto Mangkusaswito, di kampung Bali, Tanah Abang. Ketika pemerintah RI pindah ke Yogyakarta, Nasir menumpang di paviliun milik keluarga Agus Salim.

Baru tahun 1946 akhir, pemerintah kemudian memberikan rumah dinas untuk Natsir. Inilah untuk pertama kalinya keluarga Natsir tidak perlu menumpang lagi. Rumah itu berada di Jl Jawa, Jakarta Pusat.

Kesederhanaan Natsir tercermin dalam berbagai hal. Kemeja lusuhnya yang cuma dua helai, jasnya yang bertambal dan sikapnya yang santun. Para pegawai kementerian penerangan pernah urunan membelikan Natsir kemeja baru. Hal itu dilakukan agar Natsir tampak pantas sebagai menteri. Natsir memang teladan menteri yang langka.

3. H Agus Salim, hidup melarat tak pernah mikir gaji

Tidakkah para pejabat daerah ini berkaca pada apa yang sudah ditunjukkan pahlawan nasional Haji Agus Salim? Dia lahir dengan nama Mashudul Haq atau pembela kebenaran. Dalam pemerintahan RI, dia beberapa kali duduk dalam kabinet, sebagai menteri muda luar negeri Kabinet Sjahrir II (1946), dan kabinet Sjahrir III (1947), menteri luar negeri kabinet Amir (1947), menteri luar negeri kabinet Hatta (1948-1949).

Menurut catatan harian Prof Schermerhorn, pemimpin delegasi Belanda dalam perundingan Linggajati, Agus Salim adalah orang yang sangat pandai. Seorang jenius dalam bidang bahasa. Mampu bicara dan menulis dengan sempurna sedikitnya dalam sembilan bahasa. Hanya satu kelemahan dari Haji Agus Salim, yaitu hidup melarat.

Dalam catatan M Roem, kehidupan Haji Agus tidak hanya sederhana, bahkan mendekati miskin. Keluarga Haji Agus Salim pernah tinggal di Gang Lontar Satu di Jakarta. Kalau menuju ke Gang Lontar Satu, harus masuk dulu ke Gang Kernolong, kemudian masuk lagi ke gang kecil. Bisa dibayangkan, mana ada pejabat sekarang yang tinggal di "cucu" gang.

Haji Agus Salim tidak pernah berpikir soal rumah mewah dan megah layaknya pejabat sekarang. Dulu setiap enam bulan sekali dia punya kebiasaan, mengubah letak meja kursi, lemari sampai tempat tidur. Kadang-kadang kamar makan ditukarnya dengan kamar tidur.

Haji Agus Salim berpendapat dengan berbuat demikian, dia mengubah lingkungan, yang manusia sewaktu-waktu perlukan tanpa pindah tempat atau rumah. Apalagi pergi istirahat ke lain kota atau negeri. Tidak ada dalam pikiran Haji Agus Salim, punya vila seperti para pejabat sekarang.

Mendengar cerita tentang Haji Agus Salim itu, tidakkah para pejabat yang minta naik gaji malu. Haji Agus Salim, salah satu pendiri republik ini, betul-betul menerapkan istilah yang disampaikan Kasman Singodimedjo saat bertamu ke rumahnya, leiden is lijden, memimpin itu menderita. Artinya, memimpin itu tidak untuk foya-foya.

4. Sri Sultan HB IX, cuek pakai kaos kaki berlubang

Kaos kaki berlubang. Tiga kata itu mungkin menjadi kunci cerminan bahwa almarhum Sri Sultan Hamengku Buwono IX adalah sosok yang sangat humanis dan penuh kesederhanaan.

Cukilan sejarah ini sempat di sampaikan oleh Sri Sultan HB X saat melakukan orasi budaya dalam acara Pengetan Panghargyan Satu Abad Sri Sultan HB IX di Pagelaran, Alun-alun Selatan, Kompleks Kraton, Yogyakarta.

Seorang sekelas Sri Sultan HB IX, yang panggilan kecilnya Dorojatun, dengan gelar saat itu sebagai Raja Yogyakarta sekaligus Gubernur Provinsi DIY tidak malu menggunakan kaos kaki berlubang dan longgar.

"Kesederhanaannya tercermin saat beliau menonton sepakbola seorang wartawan melihat di kaki beliau terpasang kaos kaki berlubang dan longgar. Sampai-sampai untuk menahan melorotnya kaos kaki digunakan gelang karet untuk mengikatnya," kata Sri Sultan IX dalam orasinya yang disambut tepuk tangan kagum dengan cerita itu.

Keponakan almarhum Sri Sultan HB IX, KRM Maswito, anak dari GMRT Karto atau GBPH Prabuningrat yang menjadi pendamping Sri Sultan HB IX, membenarkan soal cerita kaos kaki berlubang dan longgar yang sering digunakan almarhum.

"Hidup sederhana benar. Seperti yang tadi dikemukakan Pak Sultan seperti itu tidak pernah berhias, sampai beliau memakai kaos kakinya longgar ada yang punya dokumen bahwa kaos kakinya bolong, ada lubang. Itu dilihat saat beliau menyaksikan pertandingan bola di lapangan Mandala Kridosono waktu itu," kisah Maswito.

Selain kesederhanaannya, Sri Sultan HB IX juga dikenal tidak mementingkan dirinya sendiri dan keluarganya. Keluarganya baginya tidak terlalu dipentingkan beliau. Beliau mampu berkorban untuk orang lain. Sikap Sri Sultan HB IX walaupun sering bergaul dengan bangsa asing Belanda tidak pernah menganggap dirinya sebagai bangsawan.

"Ini yang tidak dikehendaki Sultan HB VIII maka dititipkan Dorojatun pada keluarga Belanda. Pendidikan seperti itulah yang harus bisa kita teladani. Sampai pada akhirnya beliau memegang pimpinan ini yang sangat dikagumi karena karakternya masih sama dengan famili yang lain. Hidup sederhana, mampu menjadi contoh, hidup jujur sebagai seorang kesatria," ungkap Masito.

Seorang kesatria, menurut ajaran Jawa adalah mempunyai jiwa nyawiji, greget, sembung dan ora minguk (tidak mudah tergoda).

"Nyawiji selalu berserikat dengan kanan kirinya dan selalu mendharmabhaktikan dirinya kepada yang mahakuasa nyawiji, greget adalah semangat, semangat supaya tidak lemah tapi tidak berlebihan, sembung mempunyai jatidiri, saya itu lain daripada yang lain. Saya begini jadi mempunyai pendirian,"ungkapnya.

Selain itu, sikap Pancasilais dan demokratis juga tercermin saat Sri Sultan memimpin rapat dan dalam kesehariannya.

"Apabila bersikap selalu demokratis. Sultan itu kalau memimpin rapat semuanya diajak bicara kemudian diberi kesempatan mengemukakan pendapat. Baru yang terakhir dia mengambil kesimpulan. Kalau saya mempunyai pendapat begini. Gimana sebaiknya? Ini sebetulnya seorang pemimpin yang kayak begitu yang diharapkan bangsanya. Jadi begini merupakan sikap Pancasilais. Ini juga mengagumkan itulah yang dipraktikkan beliau sehari hari," tegasnya.

RM Maswito menjelaskan terbentuknya karakter Sri Sultan HB IX berkat pendidikan. Doktrin dan arahan dari ayahnya Sri Sultan HB VIII kepadanya menjadi rahasia umum rakyat Yogyakarta.

"Ini sebetulnya hasil pendidikan itu dari Sultan yang ke VIII. Banyak orang tidak tahu bahwa kuncinya ada di situ. Dikira Sultan VIII bergandengan dengan Belanda akan lebih mementingkan dan lebih dari Belanda. Ini mesti lebih Belanda dari Belanda. Maka pada satu saat waktu terjadi tarik ulur kontrak politik dengan Belanda dia sampai berucap: 'andaikata ayahandamu masih ada tidak akan terjadi kayak begini'," ujarnya.

"Sultan IX kemudian menjawab 'oh berarti Anda kalau demikian anda selama ini tidak mengerti apa yang sesungguhnya maksud dari ayah saya itu'. Mereka terkaget-kaget juga mereka tidak menduga jawaban itu," katanya.

Sultan jauh hari sebelum berangkat untuk sekolah ke Belanda sudah diberi penjelasan oleh ayahnya bahwa Belanda di negaranya sana berbeda dengan Belanda yang di sini yang menjajah di Indonesia.

"Kamu akan hidup bersama mereka cukup lama nanti. Tetapi pesan saya jangan sekali-kali kamu kepincut atau malah menikah dengan Belanda. Pesan ini sangat kuat disampaikan ayah Sultan IX sebab bisa diombang-ambingkan politik Belanda. Nah itu juga salah satu pendidikan dari Sultan VIII yang sudah bertahun-tahun pisah dari keluarga," ucapnya menirukan cerita ayahnya saat itu.

Selain itu, doktrin, budaya dan pendidikan jaman itu Sultan menganggap bahwa para bangsawan dekat dengan ibunya. Bahkan ibunya menjadi sesembahan dan disembah-sembah hal ini tidak dikehendaki Sultan HB IX seperti itu.

"Karena demokratisnya beliau karena pendidikan yang cukup lama bergaul lama dengan Belanda. Yang itu tidak disadari dan diduga oleh Belanda kok bisa Sultan menjadi prorepublik. Ini kekaguman seperti saya saya tahu secara mendalam karena bapak saya GMRT Karto atau GBPH Prabuningrat menjadi pendamping Sri Sultan IX waktu disekolahkan ayahandanya Sultan HB VIII di negeri Belanda Tahun 1930," tuturnya.

Ayahnya memang khusus diberikan tugas oleh Sri Sultan VIII untuk mendampingi almarhum Sri Sultan IX selama bersekolah di Belanda.

"Jadi saya dapatkan semua cerita itu banyak terutama dari ayah saya. Termasuk bagaimana cara melayani atau meladeni Sultan itu. Ini pesan dari ayah saya, 'begini, kalau kamu melayani Sultan maka pertama jangan sekali-kali ingin mendapatkan keuntungan materi'," ucapnya.

"Kedua, apabila memberikan konsep-konsep atau minta pertimbangan jangan hanya mengatakan 'monggo dawuh dalem' tapi berikan beliau alternatif banyak. Kemudian beliau akan memilih dan akan menambahkan wawasan," imbuhnya.

"Beliau tidak suka jika menghadapi orang yang nuwun inggih. Biasanya khan orang senang mendikte tetapi beliau tidak," pungkas RM Maswito.

5. Hoegeng, menteri sederhana tolak pakai mobil dinas

Hoegeng Iman Santosa adalah Kepala Kepolisian Republik Indonesia yang kisahnya sangat inspiratif. Sebelum menjadi kapolri, Hoegeng pernah menjabat sebagai Menteri Iuran Negara (1965), dan menjadi Menteri Sekretaris Kabinet Inti tahun 1966.

Dikutip dari sebuah buku berjudul 'Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan', rupanya Hoegeng pernah menolak pemberian mobil dinas dari pemerintah saat masih menjabat sebagai Menteri Sekretaris Presidium Kabinet. Padahal kala itu Hoegeng mendapat dua mobil dinas untuk bekerja dan satu lagi untuk keluarganya.

Selain itu, Hoegeng rupanya juga ditawari mobil jenis Holden keluaran terbaru tahun 1965 untuk keluarganya. Namun apadaya dia tetap menolak pemberian itu dengan alasan sederhana. Hoegeng mengaku masih mempunyai mobil dinas Jeep Willis dari kepolisian.

Kala itu juga, Hoegeng sempat curhat kepada asisten/sekretaris kesayangannya, Soedharto Martopoespito.

"Hoegeng mau simpan dimana lagi Mas Dharto? Hoegeng tidak punya garasi lagi," kata Hoegeng kala itu kepada Soedharto.

Namun seiring waktu berjalan, Hoegeng mau tak mau harus mengambil mobil dinas itu karena sudah menjadi peraturan negara. Dia pun menitipkan mobil itu kepada Soedharto dengan alasan garasi rumahnya tak cukup, dan akan memakainya jika suatu ketika diperlukan.

"Ya sudah, tetapi tolong disimpan di rumah Mas Dharto saja ya. Suatu saat Hoegeng perlu, Hoegeng akan pinjam saja," ujarnya.