Ikhwati fillah... Semoga keridhaan Allah SWT beserta kita semua...
Ikhwati fillah, saat ini kondisi ummat sebenarnya sedang parah-parah nya. Kemaksiatan itu sudah makanan sehari-hari.
Namun yang menyedihkan bukan itu sebenarnya. Yang menyedihkan adalah ketika semangat para da'i ikut "luntur" tergerus paham hedonisme tersebut. Jangankan untuk aktif berda'wah dalam arti yang luas. Menjaga konsistensi halaqoh dan ruhiyah pribadi saja kita gagal.
Ikhwah fillah berhati-hati lah terhadap sesuatu "yang kesannya sebuah nikmat" tetapi ternyata justru membuat kita semakin jauh dari Allah swt, semakin lalai, dan tidak menambah portofolio da'wah kita.
Jika dulu saat mahasiswa kita begitu kuatnya berda'wah, dan ketika mendapat pekerjaan kita justru jadi "lembek", penuh alasan (yang terkesan rasional), maka hati-hatilah, jangan sampai pekerjaan itu sedang jadi cobaan untuk kita, sedang jadi fitnah yang menguji apakah kita masih hamba-hamba Allah yang taat atau tidak. Dan "sial"nya, jika pekerjaan itu justru akan jadi sumber murka Allah swt dimasa depan. Jika benar demikian, bertaubatlah sebelum terlambat, sebab bisa jadi pekerjaan yang sudah membuat kita lalai dari kewajiban ruhiyah dan da'wah, ternyata juga sudah menjadi thoghut dan sesembahan baru bagi kita.
Jika dulu saat "sendiri" kita sangat aktif berda'wah, lalu ketika ada nikmat dengan hadirnya seorang suami/istri, lalu da'wah kita makin kendor, amalan ruhiyah kita makin nggak karuan. Maka berhati-hati lah, sebab bisa jadi suami/istri kita itu sudah menjadi sumber fitnah bagi kita. Bukankah dulu cita-cita kita menikah dgn ikhwan/akhwat, agar da'wah ini terjaga? Lalu jika dengan menikah da'wah ini makin kendor, dikemanakan kah tujuan asasi pernikahan kader da'wah ini?
Jika demikian, hati-hati ikhwah, karena fitnah itu takkan berhenti. Sebentar lagi kita bisa "naik jabatan" dan akan lebih sibuk lagi. Sebentar lagi kita punya anak atau anaknya bertambah, dan kita "akan lebih sibuk" lagi.
Hati-hati lah ikhwah fillah, jangan-jangan kita sudah jadi korban paham kebendaan (materialisme) secara tidak sadar. "Benchmark" kehidupan kita turun jauh... Dari tadinya para sahabat utama rasulullah, ke orang-orang biasa, temen kantor, tetangga, atau orang ammah lainnya.
Kita merasa sudah lebih hebat dengan sholat di masjid walau tak tepat waktu. Kita merasa sudah lebih hebat karena sudah bisa membaca qur'an walau cuma 1-2 halaman saja. Kita merasa sudah lebih hebat dengan qiyamul lali 1x sepekan, itu pun cuma 5menit, sambil ngantuk pula, dan kadang2 shubuhnya malah lewat.
Kita butuh kader-kader militan, kader-kader yang tidak dikalahkan oleh alasan ringan.
Sepertinya kita butuh membuka kembali catatan kita soal ahamiyatut tarbiyah dan ahamiyatud da'wah... Sebenernya, kenapa sih tarbiyah (dalam arti khusus) itu penting, kenapa da'wah itu penting?
Apa enaknya menjadi seorang kader da'wah? Apa pentingnya datang halaqoh? Apa pentingnya terlibat aktif dalam da'wah dan apa manfaatnya buat diri kita?
Ketika kewajiban-kewajiba da'wah (bahkan yang level minimal seperti hadir dalam liqo) sudah terasa berat, ada baiknya kita lakukan "medical check up" untuk hati kita. Jangan-jangan debu dunia sudah terlampau hebatnya menutup seluruh permukaannya, sehingga cahaya hidayah itu sulit masuk. Kalaupun bisa masuk, hanya sekian persennya, lalu efeknya, hati sebagai motor utama kebaikan itu menjadi lemah bergerak, terlalu lemah menginisiasi pemikiran dan motorik tubuh kita. Pekerjaan ringan jadi berat, pekerjaan berat menjadi tak terkira beratnya.
Jika itu yang terjadi, maka segera lakukan pembersihan besar-besar an, bertaubatlah kepada Allah swt, mendekatlah sedekat-dekat nya. Percayalah, dari semua nikmat yang kita miliki di dunia ini, maka nikmat hidayah itu yang terbesar! Buat apa nikmat sehat jika ujung-ujung nya jadi ahli neraka? Buat apa nikmat harta jika ujung2nya hidup di neraka? Jangan pernah berpikir bodoh dengan menganggap bahwa "ah paling di neraka sebentar, di "cuci" doang! Kata siapa? Lagian, sebentar definisi neraka sebentar, di "cuci" doang! Kata siapa? Lagian, sebentar definisi neraka dan dunia itu sangat jauh berbeda.
Alangkah sialnya seseorang yang sudah diberi tiket ke syurga, dan tugasnya cuma merawat tiket itu agar tidak rusak dan "magnetic"nya bisa digunakan di pintu syurga, lalu dia sia-siakan. Bukan hanya bagian magnetic tiketnya yang dia rusak, bahkan tiketnya dia buang!
Wahai para ikhwah, kembalilah ke rumahmu, halaqohmu, tempat dulu pertama kali hidayah itu ditancapkan kuat-kuat ke dalam relung hatimu. Tempat dimana "tiket" hidayah itu menemukan tempat untuk "maintenance"nya.
Wahai para ikhwah, bersihkanlah hati-hati mu. Perbaikilah amalan-amalan harianmu, sholatmu, dzikirmu, tilawahmu, shoummu, ql-mu... Yang membedakan kita dan orang biasa, bahkan dari "ahli ilmu Islam biasa" adalah sisi ruhiyah dan kedekatan dengann Allah swt ini. Jangan biarkan nasehat2mu menjadi hambar dan tidak memiliki bobot, dikarenakan yang kau sampaikan hanya ilmu tanpa isi, tanpa ruh yang seharusnya sudah kau tuangkan dalam aplikasinya.
Tentu.... Kau boleh memilih, menjadi kader da'wah militan yang menjadi tonggak utama perubahan... Atau menjadi manusia biasa yang mengejar obsesi dan ambisi hidup layaknya orang biasa...
Semua bebas... Semua ada di tanganmu...
Tapi sayangnya...konsekuensi pilihan itu tidak sebebas plihan itu sendiri...
Silahkan pilih, mengejar "menikmati" 10, 20, 30 atau 60 tahun tersisa dalam hidupmu. Atau mengejar alam keabadian yang periodenya "unlimited"...
"Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merubah (janjinya)" (QS: Al-Ahzab Ayat: 23)".
Ikhwati fillah, saat ini kondisi ummat sebenarnya sedang parah-parah nya. Kemaksiatan itu sudah makanan sehari-hari.
Namun yang menyedihkan bukan itu sebenarnya. Yang menyedihkan adalah ketika semangat para da'i ikut "luntur" tergerus paham hedonisme tersebut. Jangankan untuk aktif berda'wah dalam arti yang luas. Menjaga konsistensi halaqoh dan ruhiyah pribadi saja kita gagal.
Ikhwah fillah berhati-hati lah terhadap sesuatu "yang kesannya sebuah nikmat" tetapi ternyata justru membuat kita semakin jauh dari Allah swt, semakin lalai, dan tidak menambah portofolio da'wah kita.
Jika dulu saat mahasiswa kita begitu kuatnya berda'wah, dan ketika mendapat pekerjaan kita justru jadi "lembek", penuh alasan (yang terkesan rasional), maka hati-hatilah, jangan sampai pekerjaan itu sedang jadi cobaan untuk kita, sedang jadi fitnah yang menguji apakah kita masih hamba-hamba Allah yang taat atau tidak. Dan "sial"nya, jika pekerjaan itu justru akan jadi sumber murka Allah swt dimasa depan. Jika benar demikian, bertaubatlah sebelum terlambat, sebab bisa jadi pekerjaan yang sudah membuat kita lalai dari kewajiban ruhiyah dan da'wah, ternyata juga sudah menjadi thoghut dan sesembahan baru bagi kita.
Jika dulu saat "sendiri" kita sangat aktif berda'wah, lalu ketika ada nikmat dengan hadirnya seorang suami/istri, lalu da'wah kita makin kendor, amalan ruhiyah kita makin nggak karuan. Maka berhati-hati lah, sebab bisa jadi suami/istri kita itu sudah menjadi sumber fitnah bagi kita. Bukankah dulu cita-cita kita menikah dgn ikhwan/akhwat, agar da'wah ini terjaga? Lalu jika dengan menikah da'wah ini makin kendor, dikemanakan kah tujuan asasi pernikahan kader da'wah ini?
Jika demikian, hati-hati ikhwah, karena fitnah itu takkan berhenti. Sebentar lagi kita bisa "naik jabatan" dan akan lebih sibuk lagi. Sebentar lagi kita punya anak atau anaknya bertambah, dan kita "akan lebih sibuk" lagi.
Hati-hati lah ikhwah fillah, jangan-jangan kita sudah jadi korban paham kebendaan (materialisme) secara tidak sadar. "Benchmark" kehidupan kita turun jauh... Dari tadinya para sahabat utama rasulullah, ke orang-orang biasa, temen kantor, tetangga, atau orang ammah lainnya.
Kita merasa sudah lebih hebat dengan sholat di masjid walau tak tepat waktu. Kita merasa sudah lebih hebat karena sudah bisa membaca qur'an walau cuma 1-2 halaman saja. Kita merasa sudah lebih hebat dengan qiyamul lali 1x sepekan, itu pun cuma 5menit, sambil ngantuk pula, dan kadang2 shubuhnya malah lewat.
Kita butuh kader-kader militan, kader-kader yang tidak dikalahkan oleh alasan ringan.
Sepertinya kita butuh membuka kembali catatan kita soal ahamiyatut tarbiyah dan ahamiyatud da'wah... Sebenernya, kenapa sih tarbiyah (dalam arti khusus) itu penting, kenapa da'wah itu penting?
Apa enaknya menjadi seorang kader da'wah? Apa pentingnya datang halaqoh? Apa pentingnya terlibat aktif dalam da'wah dan apa manfaatnya buat diri kita?
Ketika kewajiban-kewajiba da'wah (bahkan yang level minimal seperti hadir dalam liqo) sudah terasa berat, ada baiknya kita lakukan "medical check up" untuk hati kita. Jangan-jangan debu dunia sudah terlampau hebatnya menutup seluruh permukaannya, sehingga cahaya hidayah itu sulit masuk. Kalaupun bisa masuk, hanya sekian persennya, lalu efeknya, hati sebagai motor utama kebaikan itu menjadi lemah bergerak, terlalu lemah menginisiasi pemikiran dan motorik tubuh kita. Pekerjaan ringan jadi berat, pekerjaan berat menjadi tak terkira beratnya.
Jika itu yang terjadi, maka segera lakukan pembersihan besar-besar an, bertaubatlah kepada Allah swt, mendekatlah sedekat-dekat nya. Percayalah, dari semua nikmat yang kita miliki di dunia ini, maka nikmat hidayah itu yang terbesar! Buat apa nikmat sehat jika ujung-ujung nya jadi ahli neraka? Buat apa nikmat harta jika ujung2nya hidup di neraka? Jangan pernah berpikir bodoh dengan menganggap bahwa "ah paling di neraka sebentar, di "cuci" doang! Kata siapa? Lagian, sebentar definisi neraka sebentar, di "cuci" doang! Kata siapa? Lagian, sebentar definisi neraka dan dunia itu sangat jauh berbeda.
Alangkah sialnya seseorang yang sudah diberi tiket ke syurga, dan tugasnya cuma merawat tiket itu agar tidak rusak dan "magnetic"nya bisa digunakan di pintu syurga, lalu dia sia-siakan. Bukan hanya bagian magnetic tiketnya yang dia rusak, bahkan tiketnya dia buang!
Wahai para ikhwah, kembalilah ke rumahmu, halaqohmu, tempat dulu pertama kali hidayah itu ditancapkan kuat-kuat ke dalam relung hatimu. Tempat dimana "tiket" hidayah itu menemukan tempat untuk "maintenance"nya.
Wahai para ikhwah, bersihkanlah hati-hati mu. Perbaikilah amalan-amalan harianmu, sholatmu, dzikirmu, tilawahmu, shoummu, ql-mu... Yang membedakan kita dan orang biasa, bahkan dari "ahli ilmu Islam biasa" adalah sisi ruhiyah dan kedekatan dengann Allah swt ini. Jangan biarkan nasehat2mu menjadi hambar dan tidak memiliki bobot, dikarenakan yang kau sampaikan hanya ilmu tanpa isi, tanpa ruh yang seharusnya sudah kau tuangkan dalam aplikasinya.
Tentu.... Kau boleh memilih, menjadi kader da'wah militan yang menjadi tonggak utama perubahan... Atau menjadi manusia biasa yang mengejar obsesi dan ambisi hidup layaknya orang biasa...
Semua bebas... Semua ada di tanganmu...
Tapi sayangnya...konsekuensi pilihan itu tidak sebebas plihan itu sendiri...
Silahkan pilih, mengejar "menikmati" 10, 20, 30 atau 60 tahun tersisa dalam hidupmu. Atau mengejar alam keabadian yang periodenya "unlimited"...
"Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merubah (janjinya)" (QS: Al-Ahzab Ayat: 23)".
Sang Ustadz
Sumber: islamedia.web.id