Fatih | Kompasiana
“Sengsara membawa nikmat” adalah salah satu novel yang kemudian
difilmkan dan menjadi legenda di Indonesia. Saya sendiri tidak pernah
membaca novel yang ditulis tahun 1928 ini. Saya hanya pernah menonton
mini serinya di TV. Itu pun waktu saya kecil tahun 90-an dan saya lupa
alur ceritanya. Yang saya tahu, ending dari film tersebut adalah happy
ending.
Salah satu yang menarik dari novel/film ini adalah judulnya. Ya,
judulnya yang membawa kesan optimisme bahwa dibalik kesulitan pasti ada
kemudahan. Sebagaimana tanah liat yang harus merasakan sakitnya tempaan
dan panasnya bakaran api untuk menjadi gelas keramik yang cantik. Atau
sebagaimana anakan pohon yang harus merasakan sakitnya dicabut sampai ke
akarnya untuk bisa dipindahkan ke tempat yang membuat anak pohon itu
bisa leluasa bertumbuh menjadi pohon yang lebih besar lagi.
Hal ini lah yang mungkin dialami PKS saat ini. Ujian yang menimpa PKS
beberapa hari yang lalu, yang notabene terasa pahit bagi kader-kadernya,
kalau diibaratkan pohon, kuncup-kuncup bunganya sudah mulai terlihat.
Sebegitu cepatnya. Dari berita dan cerita yang sampai kepada kita,
banyak masyarakat yang jadi ingin tahu lebih dalam (termasuk saya) pada
partai ini. Masyarakat yang kritis mencoba untuk menganalisa berita
sampai mereka menyimpulkan bahwa memang terjadi konspirasi pada partai
ini. Simpati dan kasihan bermunculan terhadap partai yang terzolimi ini,
bahkan dari orang yang sebelumnya antipati. Bahkan diantara mereka ada
yang mendaftar sebagai anggota baru partai yang sering memberi kejutan
ini.
Namun ternyata, ujian itu tidak hanya memunculkan satu jenis kuncup
bunga saja (banyaknya simpati yang berdatangan), tapi juga semakin
dikenalnya salah seorang kader terbaik di partai ini. Dia lah presiden
PKS yang baru : Anis Matta.
Saya sendiri tidak pernah bertemu dengannya. Namun saya mencoba mencari
referensi tentangnya dan dari pidato-pidatonya serta tulisan-tulisannya.
Ketika pada orasi perdananya pasca dilantik menjadi presiden PKS, dia
menyampaikan bahwa peristiwa yang menimpa PKS saat ini justru malah
membangunkan macan yang tertidur. Macan-macan yang tertidur itu adalah
para kadernya yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia yang berada
pada tataran grass-root. Dan Anis Matta lah raja macannya. Macan yang
sebenarnya tidak tertidur, tapi sebagai bagian dari rencana besar
partai, sang macan yang terjaga ini dikandangkan dulu sembari menunggu
momen yang tepat. Namun ternyata sejarah tidak berjalan linier,
menanggapi kejadian luar biasa yang menimpa PKS, sang macan terpaksa
dikeluarkan dari kandangnya.
Dia langsung berbuat. Bahkan pada hari hari pertama dia dilantik
menahkodai partai itu. Pidato perdananya yang sebenarnya ditujukan untuk
menggetarkan dan menguatkan jiwa para kadernya, justru juga membuat
masyarakat Indonesia yang menontonnya menjadi terharu, terpesona dan
tercerahkan, bahkan tertarik untuk bergabung. Pada hari itu juga, dia
mengumumkan untuk melepaskan jabatannya sebagai salah satu pimpinan DPR
sekaligus keanggotaannya di DPR. Peristiwa yang jarang ditemukan di
negeri ini (untuk saat ini).
Kunjungan ke Jawa Barat, Sumatera Utara, Jogjakarta, Jawa Timur,
Makassar (-ed) dan Bali secara berturut-turut non stop dia lakukan di
hari-hari berikutnya selepas pelantikannya, untuk menggelorakan semangat
para kadernya. Pidato-pidatonya di lima (enam -ed) provinsi itu, yang
kemudian diupload di Youtube oleh para netter, adalah pidato motivasi
yang menggugah dan mengubah. Sangat jarang ada pidato politik yang
memotivasi tapi juga tetap berisi. Hal ini memang karena dulu, jauh
sebelum dia berpartai, dia sering mengisi training motivasi. Dia sudah
menjadi trainer & motivator jauh sebelum profesi ini menjadi booming
seperti yang terjadi sekarang ini. Dia sudah lebih dulu mendahului
zamannya.
Dia “hanya” lulusan setara S1 dari jurusan syari’ah LIPIA. Namun
kecerdasan dan keluasan ilmunya patut diacungi jempol. Dia pernah
menjadi dosen di fakultas ekonomi UI. Dan dia sering mengisi seminar
berbagai tema baik di dalam maupun luar negeri. Kegiatan ini lebih
banyak dia lakoni sebelum dia berpartai. Maka saya pribadi merasakan
sendiri ruh tulisannya, ketika ia menuliskan di bukunya Mencari Pahlawan
Indonesia, bahwa ketika harus memilih diantara satu, maka pilihlah
keberanian tanpa senjata di medan perang, atau, kecerdasan tanpa
pendidikan formal di medan pengetahuan, katanya. Setelah lulus dari
LIPIA, sebenarnya dia sudah mengantongi beasiswa S2 di luar negeri.
Namun melalui istikhorohnya, beasiswa itu tidak dia ambil. Ada hal yang
lebih besar yang harus dia lakukan daripada “sekedar” kuliah S2 pikirnya
waktu itu.
Namun Anis Matta tetaplah Anis Matta yang cerdas. Bahkan dari sini kita
jadi tahu bahwa kecerdasan logikanya tidak mampu mengalahkan kecerdasan
hatinya. Salah seorang dosennya di LIPIA pernah berujar bahwa seandainya
ada nilai yang lebih tinggi dari A+, maka nilai itu akan aku berikan
untuk Anis. Dia pun sempat mengikuti pelatihan di LEMHANAS dan menjadi
lulusan terbaik. Malahan setelah itu dia pun didaulat menjadi pengajar
para jenderal di lembaga itu.
Kecerdasan dan keluasan wawasannya ini adalah anugerah tuhan yang tumbuh
subur pada diri Anis. Karena Anis memiliki pupuk yang baik berupa
kekuatan tekad dan kebiasaan membaca yang dahsyat. Bahkan waktu liburan
pada masa sekolahnya dulu, dia isi dengan membaca buku. Bayangkan saja,
setelah dikurangi dengan kegiatan pokok: tidur malam, shalat lima waktu,
makan dan MCK, selebihnya adalah membaca buku seharian semalaman. Dan
itu dia lakukan sepanjang hari liburnya. Saya jadi teringat petuah
motivator dunia, Jim Rhon: “The leader is a reader”.
Ketika dalam salah satu pelatihan Anis Matta tentang pengembangan diri,
Anis Matta menjelaskan tentang potensi otak manusia yang dahsyat. Bahwa
dalam otak manusia bisa diibaratkan ada berbagai macam kamar. Setiap
kamar merupakan tema yang berbeda. Sehingga ketika kita mempelajari
suatu materi/tema tertentu kita mengaktifkan kamar tertentu di otak
kita. Ketika kita merasa lelah, sebenarnya yang lelah itu hanya bagian
kamar yang sedang aktif itu saja, namun kita bisa mengistirahatkan kamar
itu sambil mempelajari tema lain yang artinya kita mengaktifkan kamar
yang baru.
Itulah sebabnya, katanya, mengapa dalam sejarah Islam banyak sekali ditemukan para ulama yang multitalented,
yang menguasai ilmu agama, sejarah, geografi, kedokteran, sastra,
matematika, kimia, politik, dan sebagainya sekaligus. Inilah juga yang
mungkin diterapkan Anis pada dirinya. Bahwa menjadi spesialis dengan
ilmu yang mendalam pada suatu bidang tertentu itu penting, tetapi juga
menjadi generalis yang mengerti terhadap berbagai persoalan itu juga
bukan suatu hal yang mustahil. Dan inilah yang diharapkan oleh Anis
untuk dirinya dan para kadernya. Karena menurutnya, kualitas seperti
inilah yang harus ada pada seorang pemimpin. Pemimpin besar adalah orang
yang memiliki kualitas yang prima pada tiga dimensi manusia sekaligus:
Jasadiyah (Fisiknya), Aqliyah (Otaknya), dan Ruhiyah (Jiwanya).
Pemikiran negarawan muda ini sangat brilian. Diantara salah satu
gagasannya adalah tidak ada pemisahan antara urusan agama dan urusan
negara. Belakangan saya jadi sadar, ternyata dasar-dasar syari’ah yang
kuat yang pernah dia pelajari semasa kuliah, menjadi semacam kelebihan
tersendiri baginya untuk berkreasi namun tidak melanggar norma. Hal ini
dibuktikan dengan jujur apa adanya oleh dirinya dan rekan-rekannya
dengan mendirikan sebuah partai yang berasaskan Islam. Asas yang menjadi
spirit dan sumber motivasi hakiki baginya dan seluruh kader-kadernya
untuk memajukan negeri Indonesia.
Bahwa katanya, antara Pancasila dan Islam tidak relevan lagi untuk
dipertentangkan, karena memang tidak ada dalam Pancasila yang
bertentangan dengan Islam. Ketika hal ini dijelaskan kepada para
jenderal yang notabene sangat menjaga sekali dengan Pancasila, maka para
jenderal itu pun menjadi mengerti, “Iya ya, ternyata memang tidak ada
pertentangan antara Pancasila dengan Islam, kenapa dulu kita harus
saling menumpahkan darah sesama bangsa sendiri”.
Namun kemudian sang jenderal bertanya, “Kalau memang tidak ada
pertentangan antara Pancasila dengan Islam, lalu mengapa anda tidak
menjadikan Pancasila saja sebagai asas partai Anda?”. 'Sang Macan'
menjawab dengan cerdas, “Kita tentu sama-sama tahu bahwa kita pasti mati
meninggalkan dunia ini. Dan kami yakin setelah kehidupan dunia ini ada
kehidupan lain yang abadi. Kami ingin di kehidupan yang abadi itu, kami
hidup dengan nyaman. Dan kami ingin ada jaminan, bahwa perjuangan kami
untuk memajukan negeri ini dibalas dengan kenyamanan hidup di kehidupan
yang abadi itu. Itulah sebabnya kami menjadikan Islam sebagai asas kami
agar menjadi jaminan dan sumber motivasi kami bahwa kerja keras kami
membangun negeri ini berbalas syurga-Nya”. Sebuah sumber motivasi, yang
membuat para kadernya senantiasa ikhlas berkorban untuk kemajuan negeri
ini.
Entah mengapa, saya mempunyai firasat, suatu saat nanti, orang ini akan
menjadi pemimpin bangsa yang besar ini: I N D O N E S I A.
Sumber: pkspiyungan.org