30 Januari 2014

Buta Politik, Buta Pemimpin

“Buta yang terburuk adalah buta politik, dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik. Orang buta politik begitu bodoh sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya lahir semua pelacur, anak terlantar, dan pencuri terburuk, rusaknya perusahaan nasional dan multinasional” (Bertolt Bracht, penyair Jerman)
Sedikit frontal memang, tapi kenyataannya itulah yang terjadi dewasa ini. Banyak saudara-saudara kita terlalu apatis dengan dunia perpolitikan, terkhusus umat Islam di Indonesia. Lihatlah apa jadinya Islam tanpa dukungan politik. Di Burma, di Thailand, di Vietnam dan di Myanmar misalnya, lihat apa yang terjadi dengan saudara-saudara kita di sana. Mereka di bantai, di basmi, diberangus, di hapuskan eksistensinya. Apa yang kita lakukan. Lagi-lagi dengan sikap kita yang biasa. Hanya berteriak-teriak marah, protes, mengutuk, mengecam, sedikit doa dan sedikit dana dan setelah itu selesai, kita lupa, berlalu begitu saja. Kita kehilangan legitimasi politik, kehilangan wibawa, kehilangan daya dan kekuatan dan mungkin juga kita kehilangan kepercayaan bahkan dari penganut Islam itu sendiri kita saling tidak percaya. Kebanyakan dari kita malah bahkan malu menampakkan keislamannya.
Kenyataannya masyarakat Islam di Indonesia yang mayoritas dan banyak ini ternyata tidak bisa memberikan ekses bagi masyarakat Islam di belahan bumi lain. Kita di acuhkan, di anggap bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa, kekuatan kita tidak ditakuti bahkan dari penduduk negeri yang jumlah penghuninya hanya seberapa persen dari jumlah penduduk negeri kita.
Bandingkan dengan kisah heroik Al-Mu’tashim khalifah di masa Bani Abbasiyah. Kisah heroik Al-Mu’tashim dicatat dengan tinta emas sejarah Islam. Kisah heroik penaklukan kota Ammuriah (kawasan Turki saat ini) terjadi pada tahun 223 Hijriyah. Catatan sejarah menyatakan bahwa ribuan tentara Muslim bergerak di bulan April, 833 Masehi dari Baghdad menuju Ammuriah. Kota Ammuriah dikepung oleh tentara Muslim selama kurang lebih lima bulan hingga akhirnya takluk di tangan Khalifah al-Mu’tasim pada tanggal 13 Agustus 833 Masehi.
Peristiwa ini ternyata dilatarbelakangi oleh teriakan seorang perempuan muslimah yang dilecehkan kafir Romawi dan berteriak ‘Wahai Mu’tasim” yang kebetulan menguasai negeri itu. Konon katanya wanita itu adalah keturunan bani Hasim yang kebetulan sedang berbelanja di pasar. Di saat sedang berjalan itulah, sang muslimah diganggu oleh seorang lelaki Romawi dengan menyentuh ujung jilbabnya hingga dia secara spontan berteriak: “Di mana kau Mu’tasim…Tolonglah Aku”
Teriakan muslimah tersebut akhirnya sampai ke telinga Khalifah al-Mu’tasim. Maka sang khalifah tersentuh hatinya dan terbakar ghirah Islamnya sehingga dilancarkanlah serangan penaklukan ke Ammuriah hingga sang Muslimah akhirnya bisa dibebaskan. Allahu Akbar
Bagaimana dengan Islam dewasa ini? Hari ini kita tidak punya kendaraan politik untuk melegitimasi kekuatan kita. Kita bukan siapa-siapa di negeri kita. Selama ini kita selalu kalah, dalam pemilihan pemimpin pun kenyataannya kita kalah. Belum pernah ada pemimpin yang terpilih benar-benar mewakili suara umat Islam.  Kita kalah dari kaum nasionalis dan sekuler yang begitu apik membungkus dagelan politiknya.
Menyiapkan kader-kader sadar memimpin adalah PR besar kita saat ini, selama proses penantian itu kita juga jangan melalaikan kondisi masyarakat hari ini. Selain pemimpin, kunci utama kejayaan suatu peradaban adalah munculnya kesadaran masyarakat sebagai bagian dari satu sistem, bagian dari satu cerita kejayaan. Kesadaran terpimpin inilah yang selama ini belum terakomodasi dengan baik.
Kegagalan kita menyambung tongkat estafet kepemimpinan saat tumbangnya orde baru seharusnya menyadarkan kita, bahwasanya bukan hanya konsep, kekuatan, dan amarah yang harus di bangun. Kita butuh iklim politik yang sehat, kita butuh kesempatan memupuk jiwa-jiwa pemimpin yang berintegritas ketauhidan yang memiliki pemahaman yang lebih transedental. Kita hanya akan berada dalam dua kondisi kepemimpinan sebagaimana yang disabdakan Nabi kita


“Bila pemimpin kalian adalah orang yang terbaik dari kalian, maka orang-orang kaya di antara kalian adalah orang yang paling dermawan dari kalian, dan semua permasalahan di antara kalian diselesaikan dengan cara syura (musyawarah), maka apa yang di atas bumi ini lebih baik dari apa yang di dalamnya. Kehidupan ini akan lebih baik dari kematian. Tapi sebaliknya, bila pemimpin kalian adalah orang yang paling jahat di antara kalian, maka orang-orang kaya di antara kalian adalah yang paling kikir, dan masalah kalian diserahkan pada wanita, maka apa yang ada di dalam bumi ini lebih baik dari apa yang di atas bumi. Di sinilah kematian lebih baik dari kehidupan. Ketika semua timbangan menjadi terbalik, nilai menjadi rusak, saat itulah tidak ada gunanya lagi kehidupan.(Imam Turmudzi).

Dua kondisi di atas adalah cerminan kondisi kita, dan kita pasti sudah bisa menerka saat ini kita dalam kondisi kepemimpinan seperti apa. 2014 ini kesempatan kita terbuka lagi untuk memilih pemimpin yang lebih baik, pemimpin yang tertarbiyah dengan pemahaman Islam yang baik. Islam harus bangkit, Islam harus keluar menyapa dunia, Islam harus memimpin menjadi pemimpin di tanahnya sendiri. Walahualam.

Oleh: Asdar Munandar
Sumber: dakwatuna.com