5 Maret 2015

Membagi Tugas Dakwah


“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (Q.S. At-Taubah: 122)
Asbabun Nuzul
Ibnu Abu Hatim mengetengahkan sebuah hadis melalui Ikrimah yang menceritakan, bahwa ketika diturunkan firman-Nya, “Jika kalian tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kalian dengan siksa yang pedih.” (Q.S. At-Taubah 39). Tersebutlah pada saat itu ada orang-orang yang tidak berangkat ke medan perang, mereka berada di daerah badui (pedalaman) karena sibuk mengajarkan agama kepada kaumnya. Maka orang-orang munafik memberikan komentarnya, “Sungguh masih ada orang-orang yang tertinggal di daerah-daerah pedalaman, maka celakalah orang-orang pedalaman itu.” Kemudian turunlah firman-Nya yang menyatakan, “Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang).” (Q.S. At-Taubah 122).
Ibnu Abu Hatim mengetengahkan pula hadis lainnya melalui Abdullah bin Ubaid bin Umair yang menceritakan, bahwa mengingat keinginan kaum Mukminin yang sangat besar terhadap masalah jihad, disebutkan bahwa bila Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengirimkan pasukan perang, maka mereka semuanya berangkat. Dan mereka meninggalkan Nabishalallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah bersama dengan orang-orang yang lemah. Maka turunlah firman Allah surah At-Taubah ayat 122 ini (lihat: Terjemah Asbabun Nuzul, hal. 268)
Penjelasan Ayat
Mengenai ayat ini Asy-Syaikh Thanthawi Jauhari mengatakan: “Sebaiknya orang-orang mukmin tidak harus selalu pergi semua untuk berperang atau mencari ilmu, demikian pula tidak harus di rumah (berdiam diri) semua, karena itu membuat cacat urusan kehidupan. Sebaiknya supaya ada pembagian tugas di antara mereka, sebagian dari tiap-tiap kelompok supaya ada yang mendalami agama karena mereka dituntut untuk mengambil bagian dalam menghasilkan fiqih (pemahaman tentang agama) dengan tujuan setelah menghasilkan fiqih (pemahaman tentang agama) lalu mengajarkan kepada kaumnya dan menyebar luaskan agar  mereka takut terhadap apa yang mereka telah ditakut-takuti…” (lihat: Al-Jawahir Fi Tafsiril Qur’anil ‘Adzim, hal. 171)
Hal senada disebutkan pula dalam Al-Qur’anul Karim wa Tafsiruhu bahwa dalam ayat ini Allah SWT menerangkan, tidak perlu semua orang Mukmin itu berangkat semua ke medan perang, bila peperangan itu dapat dilakukan oleh sebagian kaum muslimin saja.  Tetapi harus ada pembagian tugas dalam masyarakat, sebagian berangkat ke medan perang, dan sebagian lagi bertekun menuntut ilmu dan mendalami ilmu-ilmu agama Islam, supaya ajaran-ajaran agama itu dapat diajarkan secara merata, dan da’wah dapat dilakukan dengan cara yang lebih efektif dan bermanfaat serta kecerdasan umat Islam dapat ditingkatkan.
Sa’id Hawwa dalam Kitab Al-Asasu Fit Tafsir, memberikan penjelasan serupa tentang ayat ini sebagai berikut : “Sebaiknya sebagian orang keluar (ke medan perang) dan sebagian tinggal (tidak berangkat perang) untuk mencari kebaikan dengan mendalami agama, mendengarkan wahyu yang diturunkan, dan menyeru kepada orang-orang (yang berperang) ketika mereka kembali (Al-Asasu Fit-Tafsir, Kairo, Dar Al-Salam, 1405 H/1985 M, hlm. 2375).
Pelajaran Bagi Gerakan Islam
Surat At-Taubah ayat 122 ini memberi pelajaran dan arahan yang berharga bagi gerakan Islam dimana pun mereka berada. Ia menegaskan tentang pentingnya memperhatikan pembagian tugas di dalam perjuangan dan berdisiplin dalam melaksanakannya.
Menurut Buya Hamka melalui ayat ini Allah telah menganjurkan pembagian tugas dan menuntun hendaklah jihad itu dibagi kepada jihad bersenjata dan jihad memperdalam ilmu pengetahuan dan pengertian tentang agama.
“Ada pahlawan di medan perang, dengan pedang di tangan dan ada pula pahlawan di garis belakang merenung kitab. Keduanya penting dan keduanya isi-mengisi.” Demikian tegas Buya (lihat: Tafsir Al Azhar Juz XI, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1984, hlm. 87.)
Jadi seperti disimpulkan M. Quraish Shihab, tujuan utama ayat ini adalah menggambarkan bagaimana seharusnya tugas-tugas dibagi sehingga tidak semua mengerjakan satu jenis pekerjaan saja (lihat: Tafsir Al-Mishbah, V.II, Lentera Hati, Jakarta, 2002, hlm. 750-751).
Maka, tidak sepatutnya gerakan Islam menumpahkan sebagaian besar potensinya hanya pada satu bidang garapan saja. Meskipun bidang garapan itu dianggap paling strategis dan menjadi tuntutan utama dalam mewujudkan kemaslahatan bagi tegaknya agama. Tidak sepatutnya gerakan Islam menghamburkan tenaganya dalam jihad qitali, jihad iqtishadi, atau jihad siyasi, namun mengabaikan jihad tablighi, jihad ta’limi, atau jihad tarbawi. Tidak sepatutnya gerakan Islam menggerakkan potensi kader-kadernya hanya pada satu jenis pekerjaan, kemudian menelantarkan pekerjaan-pekerjaan lainnya, padahal pekerjaan-pekerjaan yang ditelantarkan itu sangat menentukan keberhasilan pekerjaan yang sedang digarap.
Jika gerakan Islam tidak pandai menata pembagian tugas secara proporsional, dikhawatirkan —meminjam istilah Asy-Syaikh Thanthawi Jauhari—akan ‘membuat cacat urusan  kehidupan’. Gerakan Islam lambat laun akan melemah, keropos, tumbang, dan bahkan mati.Na’udzubillahi min dzalik…
Sepatutnya gerakan Islam bertindak tawazun (seimbang). Melangkah dengan sabar dan teratur. Sehingga jihad qitali, jihad iqtishadi, atau jihad siyasi dapat berjalan beriringan dengan jihad tablighi, jihad ta’limi, atau jihad tarbawi. Tentu saja dengan disertai pembagian tugas yang disiplin di antara para kader gerakan Islam. Dengan begitu,  satu bidang garapan tidak akan menjadi parasit bagi bidang garapan lainnya. Wallahu A’lam…

Sumber: Al Intima