6 November 2014

Selamat Bekerja Presiden

Jazuli Juwaini (Ketua FPKS DPR RI)

Selamat Bekerja Presiden
Oleh: 
Jazuli Juwaini (Ketua Fraksi PKS DPR RI)
Dimuat di Harian Republika, edisi Senin, 3 November 2014

Selamat bekerja, itulah kalimat yang paling pas kita sampaikan kepada Presiden Jokowi dan kabinet barunya, apalagi Presiden Jokowi menamai kabinetnya sebagai “Kabinet Kerja”. Siapapun yang terpilih sebagai menteri tak usahlah kita komentari lagi karena itu sepenuhnya adalah hak prerogatif Presiden. Kita berikan kesempatan dan dukungan sepenuhnya kepada Kabinet Kerja agar berkonsentrasi menyiapkan program pemerintahan apalagi tantangan ke depen sungguh tidak mudah.
Kita semua mendorong dan mengawal kabinet 34 menteri ini untuk kerja, kerja, dan kerja sebagaimana yang selalu ditekankan Presiden. Bagaimana pun menteri hanyalah pembantu Presiden, ia melaksanakan garis kebijakan Presiden, khususnya dalam merealisasikan apa yang telah dijanjikan Presiden selama/sepanjang masa kampanye pemilu presiden-wapres yang lalu. Dan janji Presiden yang sangat pantas kita gaungkan secara terus-menerus – karena ia mewakili kepentingan dan kebutuhan bangsa saat ini – adalah realisasi konsep “Revolusi Mental” dan “Trisakti”.
Fraksi PKS DPR sedari awal mengapresiasi dan menyambut positif konsepsi revolusi mental Presiden Jokowi dan kini bersiap memposisikan diri untuk menjadi mitra bestari dalam merealisasikannya. Sebagai oposisi di parlemen, Fraksi PKS tak sabar menanti operasionalisasi konsep revolusi mental Bapak Presiden. Ibarat kata, pucuk dicinta ulam pun tiba, inilah yang kita tunggu selama ini: perubahan fundamental dan fondasional dalam pengelolaan negara!
Kami membayangkan ini akan menjadi debat kebijakan yang menggairahkan ke depan mengingat kita punya satu pijakan – yang dalam pemahaman kami – menjadi inti (core) dari banyak permasalahan di negeri ini, yakni perlunya revolusi mental dan kesungguhan mewujudkan kembali konsep Trisakti yang pernah digelorakan oleh Bung Karno.

Revolusi mental dan Trisakti kami anggap sebagai isu kebijakan yang fundamental dan fondasional karena kita rindu tawaran kebijakan yang dibangun di atas kesadaran bahwa ada yang salah dalam pengelolaan negara ini, lalu dari kesadaran itu terbangun otokritik dan koreksi total dan subtansial.
Revolusi Mental
10 Mei 2014, Jokowi – saat itu sedang running sebagai calon presiden – melalui sebuah media nasional menyajikan artikel yang menggugah berjudul “Revolusi Mental”. Artikel ini menjadi hits dan kemudian beresonansi ke pelosok negeri. Kata ini dengan cepat menjadi tagline kampanye Jokowi dan begitu lekat disandarkan padanya. Ya, Jokowi telah menjadi trend setter revolusi mental. Lalu, para relawan Jokowi menyambutnya dan menjadikannya gerakan kolektif perbaikan negeri ini. Dalam pandangan kami, kita perlu memelihara trend setter dan gerakan kolektif itu justru setelah Jokowi resmi menjadi Presiden RI dan ikut mendorongnya agar benar-benar terwujud dalam masa pemerintahannya ini.
Jokowi menyebut revolusi mental sebagai paradigma baru dalam menjawab permasalahan bangsa. Diakuinya, reformasi telah melahirkan banyak capaian dalam kehidupan politik, ekonomi, dan lain sebagianya, akan tetapi masih banyak PR masalah yang tak kunjung terselesaikan bahkan semakin meluas. Hal ini terjadi karena reformasi baru menyentuh faktor kelembagaan (institusional), tidak atau belum sampai pada merubah paradigma, kultur, mindset, dan perilaku. Sehingga banyak lembaga/komisi negara dibentuk pasca reformasi namun nyatanya tidak/belum efektif mengatasi masalah. Merebak dimana-mana praktik korupsi, intoleransi, kerakusan, keinginan cepat kaya secara instan, pelecehan hukum, dan sikap oportunis. Inilah yang ingin dijawab oleh Jokowi dengan revolusi mental-nya.
Jokowi juga menegaskan kritiknya atas langgam pembangunan yang cenderung menerapkan prinsip-prinsip paham liberalism, yang menurutnya, jelas tidak sesuai dan kontradiktif dengan nilai, budaya, dan karakter bangsa Indonesia. Oleh karenanya, Jokowi menegaskan, penting untuk melakukan tindakan korektif atas langgam dan penerapan prinsip-prinsip paham liberalisme tersebut dengan mencanangkan revolusi mental, menciptakan paradigma, budaya politik, dan pendekatan nation building baru yang lebih manusiawi, sesuai dengan budaya nusantara, bersahaja, dan berkesinambungan. Lalu Jokowi mengurai strategi revolusi mental bangsa ini ke depan menggunakan konsep Trisakti yang pernah diutarakan Bung Karno dalam pidatonya tahun 1963 dengan tiga pilarnya, ”Indonesia yang berdaulat secara politik”, ”Indonesia yang mandiri secara ekonomi”, dan ”Indonesia yang berkepribadian secara sosial-budaya”.
Realitasnya, kita belum berdaulat secara politik, demokrasi belum menghasilkan pemimpin yang berkualitas dan merakyat, politik liberal menyebabkan demokrasi berbiaya mahal yang berekses pada meluasnya praktek/perilaku koruptif. Kita belum juga mandiri secara ekonomi. Ekonomi liberalistik, terlalu pro pasar, nyaris tanpa proteksi yang memadai bagi kepentingan publik, nyatanya telah melemahkan potensi dan kapasitas ekonomi rakyat. Pada saat yang sama menyebabkan ketergantungan pada modal asing dan eksploitas sumber daya alam oleh perusahaan-perusahaan multinasional. Ekonomi rakyat menjadi marginal di negerinya sendiri di tengah serbuan produk impor.
Kita juga makin krisis identitas karakter sebagai bangsa. Budaya liberal dan sekuler menyebabkan anak bangsa krisis nilai, moral, dan etika. Padahal bangsa ini kaya nilai dan ajaran moral yang luhur yang bersumber dari kekayaan agama, budaya, dan adat istiadat. Dus, revolusi mental dan revitalisasi Trisakti menjadi konsep yang tepat untuk mengatasi realitas tersebut.
Sinergi Positif
Konsepsi revolusi mental dan Trisakti Presiden Jokowi bak ‘gayung bersambut’ karena kesadaran yang sama juga muncul dari barisan ‘koalisi oposisi’ parlemen (Koalisi Merah Putih/KMP) yang sejak awal kampanye menggelorakan nasionalisme, tolak intervensi asing dan penjualan aset negara, serta kritik tajam terhadap langgam kebijakan ekonomi politik yang liberalistik dengan kembali pada nilai jati diri bangsa: pancasila dan UUD 1945 yang sejati.
Jika politik diarahkan pada upaya perbaikan pengelolaan negara secara fundamental, maka ke depan akan terbangun sinergi positif antara dua koalisi ini – yang sebelumnya berseberangan – karena isu kebijakan fondasionalnya sebenarnya sama dan sebangun. Checks and balances dilakukan semata-mata untuk mengingatkan dan menjaga konsistensi terhadap janji-janji kampanye yang, tentu saja, akan dituangkan dalam rencana pembangunan pemerintah.
Jika hal tersebut yang terjadi, maka rasa-rasanya arah politik ke depan sudah pada rel-nya dan berharap bisa sangat konstruktif. Tidak perlu ada kekhawatiran yang berlebihan terhadap realitas politik bahwa KMP ‘menguasai’ DPR apalagi jika pemerintah Jokowi komitmen dengan janji dan program pro-rakyat. Jika isu fondasionalnya sama maka hanya kebaikan bangsa dan negara yang akan dihasilkan. Paling tidak inilah yang akan menjadi sikap politik Fraksi PKS ke depan di parlemen. Dan, inilah yang kami maknai sebagai kekuatan penyeimbang yang konstruktif. Pada akhirnya dengan berbesar hati Fraksi PKS mengucapkan selamat bekerja Presiden!
Sumber: Harian Republika, edisi Senin, 3 November 2014