23 Februari 2013

Kenal


Ilustrasi. (akmalsjafril.com)

Oleh: Akmal Syafril

Gonjang-ganjing impor daging sapi. Di beberapa tempat, muncul spanduk dan berbagai media lainnya yang menjelek-jelekkan PKS, sehingga memiliki kepanjangan nama yang baru: Partai Keseruduk Sapi, Partai Korupsi Sapi dan semacamnya. Asal ada “sapi”-nya.
Media massa berlomba-lomba untuk bekerja serba cepat. Pokoknya cepat. Akurasi itu urusan terakhir. Ada wartawan yang sigap menulis:

Luthfi Hasan ditangkap tangan oleh KPK, Rabu (30/1/2013) malam. Dari penangkapan tersebut, KPK mendapatkan uang Rp1 miliar sebagai uang suap kepada Luthfi. Selain itu, setelah menerima uang suap, Luthfi berada dalam satu kamar hotel bersama wanita bernama Maharani.

Sekarang, teks di atas tidak lagi bisa ditemukan di lokasinya dahulu. Beritanya masih ada, tapi kalimat-kalimat di atas menghilang begitu saja. Gampang benar menghilangkan jejak di dunia maya. Tapi sudah banyak yang menyimpan screenshot-nya sebagai bukti. Mungkin, kelak masalah ini akan dibawa juga ke meja hijau. Sebab, jelas-jelas ustadz Luthfi Hasan Ishaaq tidak ditangkap di kamar hotel, apalagi bersama seorang perempuan. Jauh panggang dari api.

Bagaimana pun, masih banyak orang Indonesia yang mengkonsumsi fast news seperti di atas, kemudian tidak menghiraukan kelanjutan ceritanya. Padahal, proses hukum di Indonesia biasanya makan waktu cukup lama. Artinya, berita yang benar-benar shahih biasanya muncul belakangan, sedangkan yang ngawur-ngawur berseliweran paling awal. Sampai sekarang, misalnya, masih ada saja yang menyebut Misbakhun sebagai terpidana, padahal ia sudah dinyatakan tak bersalah dan nama baiknya sudah direhabilitasi. Serupa dengan itu, sampai sekarang pun masih ada yang mengira bahwa ustadz Luthfi benar-benar kepergok berduaan dengan perempuan di kamar hotel. Memang banyak pembaca yang wawasannya tidak up to date.

Beberapa media yang lebih ‘pintar’, dengan mudahnya, menyajikan berbagai berita simpang-siur dengan didahului oleh kata-kata “menurut sumber…” Jangankan media gurem, yang sekelas Tempo pun melakukan hal yang demikian. Memang pers punya hak melindungi sumbernya yang diperkirakan terancam nyawanya. Tapi apa iya kasus ini mengancam nyawa seseorang?

Menghadapi krisis, PKS tidak kelihatan gamang, bahkan seolah-olah ‘sudah terlatih’. Dengan gampangnya ustadz Luthfi Hasan Ishaaq mengundurkan diri dari jabatan Presiden PKS (suatu hal yang hampir tabu bagi para pemimpin di partai-partai lainnya), dengan segera Majelis Syuro bermusyawarah, dan tahu-tahu ustadz Anis Matta sudah maju ke depan. Posisinya sebagai Sekjen DPP PKS langsung diisi oleh ustadz M. Taufik Ridho. Ustadz Anis langsung mundur dari jabatan Wakil Ketua DPR, dan posisinya langsung diisi oleh ustadz M. Sohibul Iman. PKS menukar jabatan para pengurusnya semudah tim sepak bola memasukkan pemain cadangan, dan ‘pemain cadangan’ PKS begitu banyaknya.

Pergantian jabatan ‘di tengah jalan’ memang suatu hal yang lazim terjadi di PKS, bahkan sejak zamannya PK dahulu. Ustadz Nurmahmudi Isma’il diangkat sebagai Menteri Kehutanan RI, dan karenanya ia pun mundur dari jabatan presiden partai. Ustadz Hidayat Nur Wahid maju, kemudian di tengah jalan pun mundur karena menerima amanah sebagai Ketua MPR. Tibalah giliran ustadz Tifatul Sembiring, yang di kemudian hari pun mundur ‘tiba-tiba’ karena diangkat sebagai Menteri Komunikasi dan Informasi RI. Naiklah ustadz Luthfi Hasan Ishaaq, sampai akhirnya muncul kasus yang kini terjadi. Karena jabatan tidak boleh dicari – apalagi diminta – di PKS, maka pergantian jabatan tak pernah jadi sumber konflik. Ada anekdot, Munas PKS ditanggapi dingin oleh para wartawan, sebab tak ada potensi konfliknya. Setelah amanah dibagikan, tak ada yang protes dan meminta bagian lebih. Itu hal paling tabu di partai dakwah. Kalau ada yang melakukannya, siap-siaplah ditendang.

Naik ke puncak kepemimpinan partai di saat-saat sulit, ustadz Anis Matta tidak sudi dibungkam. Alih-alih terguncang dengan kasus yang tengah dihadapi, ustadz Anis malah memerintahkan semua kader untuk ‘tidak tidur lagi’:

“Hari ini, saya akan katakan pada semuanya dan juga seluruh kader PKS, saya ingin mengatakan kepada Antum semua bahwa hari ini berlaku ayat Allah SWT., “Lambung mereka tak bersahabat dengan tempat tidur”. Tak ada lagi waktu tidur sejak hari ini, saudara-saudara sekalian. Kita akan memulai hari ini, insya Allah, sebagai momentum kebangkitan kita semuanya.”

Orasi politik yang menggelegar ini mengagetkan banyak orang, bahkan para pengamat politik pun nampaknya tidak pernah meramalkan hal yang semacam ini terjadi. PKS tidak menutup diri. Malah sebaliknya, sang pemimpin baru justru mengumandangkan ‘terbangunnya si macan tidur’. Jika ustadz Luthfi Hasan Ishaaq sebelumnya menanggapi penangkapannya dengan ucapan “Hasbunallaah wa ni’mal wakiil, ni’mal mawlaa wa ni’man-nashiir”, maka kini ustadz Anis Matta berteriak lantang: “Allaahumma, iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin!
Selanjutnya, ustadz Anis seolah ingin memberikan contoh bagaimana ‘lambung yang tak bersahabat dengan tempat tidur’ itu. Berbagai rapat akbar digelar dalam rangka konsolidasi kader, misalnya di Sumatera UtaraYogyakartaSurabaya dan Bali. Di semua acara tersebut, massa PKS tumpah ruah. Kalau memang PKS mengalami krisis, maka hal itu tidak terlihat dalam kegiatan-kegiatan konsolidasi kadernya. Si macan, nampaknya, benar-benar telah terbangun dari tidurnya.

Meskipun para pengamat politik sibuk menganalisa berapa persen suara pendukung PKS yang akan berkurang di Pemilu 2014, namun kenyataannya dukungan justru terus mengalir. Orasi Perdana ustadz Anis saja sudah cukup untuk membangkitkan begitu banyak reaksi positif terhadap PKS. Di Solo, masyarakat ramai menyuarakan dukungannya pada PKS, bahkan banyak yang berkeinginan untuk bergabung menjadi kadernya. Di Banda Aceh, lebih dari 1.000 orang kader baru telah direkrut sejak terjadinya kasus yang menimpa ustadz Luthfi Hasan Ishaaq. Di Gresik, sebanyak 36 DPRa baru terbentuk, lantaran banyaknya orang yang bergabung menjadi kader PKS.

Sebuah tulisan menarik muncul di situs Kompasiana. Artikel tersebut ditulis oleh Kurniawati Sazali, seorang ibu rumah tangga yang aktif di majelis ta’lim. Sang ibu, yang dalam tulisannya tidak mengidentifikasi dirinya sebagai kader PKS, menyatakan kekhawatirannya akan kasus yang menimpa PKS. Ia menulis:

“Bu Nia, taklim kita bagaimana? Apakah akan bubar?” kata seorang ibu. Saya pun sempat terpikir begitu, ketika banyak pengamat di koran dan TV yang mengatakan: PKS akan hancur. PKS akan bubar. PKS tinggal sejarah. Pertanyaan itu sangat wajar. Kerisauan kami pun beralasan. Majelis Taklim kami memang banyak ditopang kader-kader PKS. Hampir semua yang mengisi taklim kami adalah kader-kader PKS. Kalau PKS bubar, ustadzahnya tidak mau datang lagi apa Majelis Taklim tidak bubar? Memang hari gini masih ada ustadzah yang masih mau sabar ngasih taklim kepada kami-kami?

Memang saat itu sempat terpikir waktu kami berunding dengan ibu-ibu peserta majelis taklim. Apa sebaiknya kita gabung dengan ibu-ibu majelis taklim yang lain? Tapi pikiran itu ditolak oleh ibu-ibu yang lain karena dua sebab. Pertama karena sudah cocok dengan cara penyampaian ustadzahnya yang ringkas, mengena dan praktis. Kedua tempatnya lebih jauh tentu saja masalah datangnya dengan cara apa menjadi masalah utama.

Alhamdulillaah, setelah dihubungi, sang ustadzah yang biasa mengisi kajian di majelis ta’lim tersebut menyatakan bahwa kajian tidak akan berhenti meskipun PKS mengalami masalah. Sang ustadzah pun menjelaskan dengan jernih:

Kami ingin mendengar penjelasan panjang yang mungkin akan terlewat jika lewat telepon. Beliau justru menjawab sambil tersenyum: Justru tidak ada alasan. Lho, kenapa memangnya? Ketika kita belajar Islam dan berusaha memahami dengan baik, berusaha mengamalkan apa yang kita tahu. Ketika kita meneruskan usaha kita tentu tidak perlu ditanyakan mengapa meneruskan? Justru yang berhenti itu yang perlu ditanya, mengapa berhenti? Subhanallah. Alasan yang sangat masuk akal.

Demikianlah logika yang digunakan oleh beliau. Tidak perlu alasan untuk belajar agama. Sebaliknya, kalau mau berhenti, maka harus ada alasan yang sangat bagus (dan sebenarnya, tak ada alasan yang cukup bagus untuk berhenti belajar). Jawaban ini sekaligus menunjukkan mentalitas sang ustadzah sendiri. Baginya, terus berdakwah itu alamiah, tak perlu alasan. Berhenti berdakwah itulah yang perlu dipertanyakan alasannya.

Pengalaman emosional yang kemudian terjadi pun dikisahkan selanjutnya secara panjang lebar:

Pertanyaan yang menurut saya paling panas dan mungkin menyinggung ustadzah adalah tentang PKS keseruduk sapi. Bagaimana tanggapannya? Masih dengan tersenyum dan dengan wajahnya yang ikhlas beliau memberi penjelasan dan mengulangi pernyataannya bahwa setiap pilihan ada konsekuensinya. Jangankan keseruduk sapi, seandainya diinjak gajah kami juga tetap tidak bergeser. Subhanallah, sampai ibu-ibu mbrebes mili. Beliau meneruskan: Ibu-ibu sekalian sudah mengenal saya sejak lama, soal ibu percaya kepada kami atau tidak bagi kami bukanlah masalah besar. Hanya harapan saya, ibu-ibu tetap istiqamah untuk belajar Islam dan mengamalkannya. Itu sudah sangat membahagiakan saya.  Tangis kami pecah. Kami sudah mengenal beliau dan teman-temannya dari PKS begitu gigih luar biasa dalam setiap kegiatan pengajian, sosial dan kegiatan-kegiatan yang sangat bermanfaat bagi kami. Sampai ada seorang ibu yang agak histeris mengatakan: Demi Allah, saya menjadi saksi atas ustadzah dan teman-taman ustadzah. Kalau ustadzah berani mengambil resiko dalam perjuangan, kami tentu tetap mendukung dan menyertainya. Kami sudah mendapat banyak kenikmatan Allah berupa pemahaman Islam. Kami sudah lebih paham untuk apa Allah menciptakan kami. Apakah hanya karena kata pengamat saja kami jadi berbalik arah? Mereka hanya bisa ngomong, memang omongan mereka layak untuk ditampilkan karena layak dijual. Tapi mereka tidak merasakan apa yang kami rasakan. Mereka tidak pernah mengalami apa yang kami alami. Kami sering bertemu dan mengetahui apa saja yang ustadzah dan teman-teman ustadzah lakukan. Apakah kami orang-orang yang tidak bisa berfikir kalau hanya karena omongan di luar yang tidak jelas mempengaruhi kami. Keharuan menyelimuti suasana. Tangis dan airmata tidak bisa dibendung lagi. Acara taklim berubah menjadi acara tangis-tangisan.

Kisah pun ditutup dengan sebuah penegasan yang begitu kontras dengan kondisi yang dibicarakan di media massa belakangan ini:

Dengan mengusap buliran airmata yang menetes, ustadzah pun meneruskan: Terima kasih atas kepercayaan ibu-ibu semua. Insya Allah kepercayaan ibu-ibu akan kami pegang erat-erat. Dengan rasa haru yang tidak terbendung salah seorang ibu mengatakan: Walaupun kami bukan kader dan bukan apa-apa bagi PKS tapi tetap percaya dengan PKS. Insya Allah kami akan lebih rajin beribadah dan lebih rajin untuk belajar Islam. Dan mulai pemilu akan datang kami semua akan mencoblos PKS.

Kisah di atas bukan satu-satunya. Masih banyak kisah lain, misalnya dukungan seorang Ibrahim Oang terhadap PKS, atau dukungan buruh Jawa Barat kepada Ahmad Heryawan dan Deddy Mizwar. Semakin dicari, semakin tidak terlihat bukti-bukti bahwa PKS ditinggalkan oleh konstituennya. Sebaliknya, pendukung PKS justru bertambah terus.

Cerita dari Kurniawati Sazali telah menjelaskan banyak hal. Yang paling utama, kisah itu menunjukkan mengapa kader dan simpatisan PKS begitu loyal. Bukan karena taqlid buta atau fundamentalis – sebagaimana yang dikatakan oleh sementara orang – melainkan karena mereka mengenal dengan baik PKS, para kader dan pimpinannya. Kader-kader PKS tidaklah ‘gaib’ sepanjang 4 tahun dan hanya muncul di musim kampanye. Mereka didoktrin sedemikian rupa untuk menebar kebaikan dan berdakwah ke seluruh penjuru tanah air, semampunya. Kapan pun terjadi musibah dan bencana alam, PKS akan tampil dan membantu sesuai kemampuannya. Hal ini tidak dilakukan dengan pamrih. Diliput media atau tidak, operasi bantuan kemanusiaan terus digelar oleh kader-kader PKS. Maka, jika fakta di lapangan berbeda dengan kisah yang tertera di surat kabar yang mampir ke teras rumah di pagi hari, rakyat tentu akan memilih untuk mempercayai apa yang dilihat dan dialaminya sendiri.

Meski banyak yang mengatakan bahwa PKS mempolitisasi agama, namun lebih banyak lagi yang menyaksikan kenyataan bahwa kader-kader PKS berdakwah dengan ikhlash lillaahi ta’ala, dan bukannya sekadar mengharapkan tambahan suara di pemilu atau pilkada. Sebagaimana pengalaman Kurniawati Sazali dengan ustadzah pembimbing majelis ta’lim-nya yang tak pernah menyuruh-nyuruh jamaahnya untuk menjadi kader PKS, demikian juga banyak orang lain yang memiliki pengalaman serupa. Pengalaman yang dialami sendiri tentu lebih membekas daripada pernyataan para analis, betapa pun panjangnya gelar akademis di depan dan belakang namanya.

Inilah ‘tembok’ yang menghadang setiap orang yang ingin ‘menggoyang’ PKS. Relasi antara kader dan pimpinannya tergambar dari sebutan yang diberikan kepada para pimpinan, yaitu “ustadz”. Istilah ‘petinggi PKS’ adalah murni bikinan media, sebab kader-kader PKS tak pernah terbiasa dengan konsep ‘petinggi’ dan ‘perendah’. Tidak ada yang tinggi dan rendah. Yang menjadi pimpinan adalah para ustadz yang makan, minum, tidur, menangis dan bercanda bersama para kader lainnya. Para kader pun setiap saat harus siap untuk mengisi pos-pos dakwah yang kosong, bagaikan anak panah yang siap ditembakkan oleh busurnya. Tidak ada pembesar di PKS, karena Yang Maha Besar hanya Allah.

Oleh karena itu, ketika media massa sibuk menampilkan imej ustadz Hilmi Aminuddin – Ketua Majelis Syuro PKS – sebagai sosok petinggi, penguasa, pembesar, raja dan orang yang mengumpulkan kekayaan melalui partainya, kader-kader PKS tidak terpengaruh. Sebab, mereka kenal betul siapa ustadz Hilmi. Beliau bukan orang yang jauh dari masyarakat, apalagi dari kader-kader PKS. Banyak di antara kader-kader PKS yang punya pengalaman pribadi berinteraksi dengan beliau, meskipun mereka tidak memiliki jabatan tinggi di partai. Apa pun yang dikatakan oleh media, manusia pasti lebih mempercayai pengalamannya sendiri.

Hal yang sama pun berlaku sebaliknya. Jika ada tokoh-tokoh yang keluar atau dikeluarkan dari PKS, kemudian berbicara negatif seolah-olah tak ada lagi yang tersisa dari PKS selain keburukan, maka hal itu pun tidak memberi pengaruh signifikan kepada kader-kader PKS. Sebab, mereka pun mengenal dengan baik siapa tokoh yang berbicara itu.

Tentu saja, ini bukan berarti semua kritik yang ditujukan pada PKS itu pasti salah. Mengatakan bahwa semua kritik itu meleset sama tidak masuk akalnya dengan mengatakan bahwa semua kritik itu benar. Di antara kader dan pimpinan PKS pasti juga ada yang melakukan kesalahan. Akan tetapi, jika partai dakwah yang dikenal karena kesantunan kader dan kerja nyatanya kemudian dipersepsikan seolah-olah sebagai partai paling korup dan paling tidak jujur, tentu masyarakat pun akan bertanya-tanya: jujurkah penilaian ini?

Ada hubungan khusus di antara jajaran pimpinan dan kader-kader PKS yang tidak dijumpai di partai-partai lainnya. Masyarakat pun telah semakin akrab mengenal partai dakwah yang satu ini. Inilah yang seringkali lolos dari analisis media massa. Dan, nampaknya, hal ini pula yang membuat para analis berulang kali terbukti salah dalam menilai PKS.