9 Februari 2016

[Opini] Meneropong Arah Politik PKS Pasca Pilkada Boyolali 2015


Oleh: Puji Rohyati 
          Sekretaris Bidang Perempuan & Ketahanan Keluarga DPD PKS Boyolali

Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Boyolali yang berlangsung tanggal 9 Desember 2015, kembali menempatkan dominasi dan hegemoni politik PDIP di Boyolali. Calon yang diusung PDIP yaitu Seno Samodro dan Moh. Said Hidayat yang merupakan pasangan incumbent memenangkan pilkada secara meyakinkan atas pasangan Agus Purmanto dan Sugiyarto yang diusung partai politik gabungan diluar PDIP. Pasangan Seno Samodro dan Said Hidayat memperoleh 67%, sedangkan pasangan Agus Purmanto dan Sugiyarto memperoleh 33%. Angka kemenangan tersebut menunjukkan bahwa kekuatan politik PDIP masih dominan. Terlepas dari intrik-intrik dan pelanggaran yang terjadi dalam pilkada, harus diakui bahwa PDIP memenangkan PIlkada dengan sangat meyakinkan.

Intrik Politik
Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Boyolali diwarnai dengan intrik dan gesekan politik yang sangat tajam. Hal ini dimulai setelah keluarnya rekomendasi dari PDIP untuk mencalonkan Seno-Said. Rekomendasi PDIP yang mengusung kader PDIP menunjukkan percaya diri yang tinggi. Dengan kata lain PDIP tidak memerlukan dukungan dari partai lain. Pandangan ini sangatlah wajar mengingat PDIP menguasai kursi DPRD sebanyak 25 kursi dari 45 Kursi. Hal ini membuat partai diluar PDIP mengkonsolidasikan diri untuk mengusung Paslon melawan PDIP melalui Koalisi Boyolali Bangkit (KBB). Awalnya semua partai diluar PDIP bergabung dengan KBB. Gerindra, Golkar, PKB, PAN, PKS, PPP. Namun seiring dengan penetapan Agus-Sugiyarto terjadi intrik di tubuh PKB dan PAN. Rekomendasi PKB dan PAN yang turun ke Agus-Sugiyarto tidak ditaati oleh pengurus Kabupaten sehingga menyebabkan diberhentikannya Ketua DPD PKB dan DPD PAN oleh struktur diatasnya. Intrik ini mengawali panasnya pertarungan politik dalam pilkada Boyolali

Intrik politik yang kedua adalah Mobilisasi PNS dan Kepala Desa untuk memenangkan salah satu pasangan calon. Hal ini dapat terlihat dengan banyaknya pertemuan perkumpulan PNS yang dihadiri oleh salah satu calon. Insiden mobilisasi PNS juga terlihat dari beberapa kasus pelanggaran pidana pemilu yaitu pelanggaran netralitas PNS. Kasus Kepala Desa Bendo Nogosari, Camat Nogosari, pemukulan Camat Andong menunjukkan betapa intrik mobilisasi PNS dan Kepala Desa sangat jelas terjadi.


Pasca Pilkada
Intrik politik ketika Pilkada membuat segmentasi politik di Boyolali terjadi antara partai pendukung kedua pasangan calon. Namun politik di Indonesia pada umumnya sangatlah cair. Cairnya perpolitikan di Indonesia bisa dilihat pada pentas politik nasional. Koalisi Merah Putih vs Koalisi Indonesia Hebat berangsur angsur mulai berubah dan cair. Banyak partai anggota KMP berubah haluan merapat ke KIH mendukung pemerintah. Display politik terakhir menyisakan PKS dan Gerindra di KMP. Demikian juga di Boyolali. Sikap partai politik akan terfragmentasi dalam dua sikap yaitu merapat ke pemerintah atau mengambil jarak dengan pemerintah. 

Merapat kepemerintah berarti partai tersebut menjadi pendukung pemerintah dengan segala kebijakannya dan berada di bawah hegemoni PDIP. Sikap politik ini memiliki kelebihan yaitu dengan menempatkan diri di bawah hegemoni PDIP maka jaminan ekonomi dan politik akan lebih mudah. Partai akan mendapatkan jatah kue kekuasaan melalui akses program pemerintah melalui SKPD dan aspirasi. Partai politik tersebut juga akan memiliki pengaruh terhadap jalannya pemerintahan walaupun bisa dipastikan sangat kecil. Hal ini mengingat kuatnya cengkraman PDIP. Kelemahan sikap tersebut adalah menempatkan partai di bawah hegemoni dan subordinat PDIP dalam kekuasaan. Hal ini membuat independensi partai akan tergerus. 

Sedangkan partai yang menjaga jarak dengan pemerintah maka dia akan memiliki sikap kritis dan independen. Partai tersebut mampu memposisikan face to face dengan PDIP. Partai tersebut akan menjadi simbol perlawanan terhadap kekuasaan di bawah PDIP. Namun resiko politiknya adalah hilangnya akses ekonomi politik. Basis politik partai tersebut juga beresiko tergerus oleh partai penguasa melalui berbagai cara dan intrik, baik melalui pemerintahan yaitu SKPD maupun pemerintah desa.

Posisi PKS
Berkaca pada periode 2010-2015 sikap partai politik juga terfragmentasi dalam dua sikap yaitu mendukung kekuasaan atau menjaga jarak kekuasaan. Partai yang mendukung kekuasaan adalah Partai Demokrat, PAN, PKB; Sedangkan partai yang menjaga jarak kekuasaan adalah PKS dan Gerindra. Namun hasil pemilu 2014 justru menunjukkan bahwa partai yang mendukung kekuasaan dibawah hegemoni PDIP tergerus oleh PDIP. Perolehan kursi PAN yang semula 5 kursi menjadi 3 kursi, PKB yang dulunya 3 kursi menjadi 1 kursi sedangkan yang paling tragis Demokrat yang dulunya 6 kursi menjadi 1 kursi. Di sisi lain PKS dan gerindra yang menempatkan diri menjaga jarak kekuasaan memperoleh kursi yang baik. PKS tetap dengan 4 kursi sedangkan Gerindra dari 0 kursi menjadi 4 kursi. Sikap politik dan kalkulasi politik saat ini juga akan menentukan hasil pemilu 2019. Dengan berbagai pertimbangan tersebut maka sebaiknya PKS mengambil sikap politik menjaga jarak dengan kekuasaan. Tentunya hal ini dengan melakukan penguatan posisi diantaranya:
  1. Menempatkan PKS sebagai simbol perlawanan terhadap hegemoni PDIP. Suara pasangan Agus Sugiyarto yang mencapai 33% merupakan basic market suara perlawanan. Apabila Branding PKS sebagai simbol perlawanan mampu diperkuat maka ceruk suara PKS akan lebih mudah diperoleh. Hal ini berbeda dibanding memperebutkan suara pendukung kekuasaan yang mencapai 67% dengan menjadi pendukung kekuasaan. Angka 67% merupakan angka yang besar namun sangat kuat dengan hegemoni PDIP sehingga sangat sulit menggeser dukungan. Akan sangat mudah bagi PKS mendapatkan ceruk suara dari 33% dukungan Agus Sugiyarto apabila PKS mampu menempatkan diri sebagai simbol perlawanan.
  2. Bahwa jalannya kekuasaan di Boyolali ke depan sangatlah dominan dan sulit sekali melakukan kontrol. Kekuasaan yang dominan cenderung absolut dan otoriter. Kekuasaan yang absolut dan otoriter akan cenderung korup dan semen-mena. Hal ini menimbulkan potensi lebih banyak masyarakat yang akan tersakiti oleh kebijakan yang semena-mena dan tidak terkontrol. Hal ini merupakan potensial voter bagi partai yang berseberangan dengan kekuasaan.
  3. Lemahnya kontrol ektra parlementer. Disaat LSM, Ormas, Organisasi diluar legislative (DPRD) mandul dalam mengkontrol kebijakan kekuasaan maka menjadi tugas mulia dalam demokrasi untuk menempatkan PKS sebaga kanal kontrol kekuasaan. Kemampuan PKS yang solid dan lihai dalam berpolitik memungkinkan PKS mengkonsolidasikan diri dengan gerakan ekstra parlementer untuk melakukan kontrol kekuasaan
PKS perlu kiranya mengambil sikap politik yang jelas. Tulisan ini hanyalah ijtihad pribadi sebagai pengurus PKS selanjutnya sikap politik PKS diserahkan pada mekanisme di internal PKS. Selamat menjalankan Rakorda DPD PKS periode 2015-2020. (HSM)