25 Maret 2014

Pentingnya Seorang Muslim Berpartisipasi Dalam Pemilu dan Menentukan Parlemen yang Ideal




Oleh: A. Mifdlol Muthohar

Beberapa saat lagi kita akan masuk dalam ajang pesta demokrasi, pemilihan umum (Pemilu) 9 April 2014. Para calon DPD, DPR dan DPRD dari berbagai partai politik telah mensosialisasikan diri, untuk menyambut kemenangan pada hari monumental tersebut. Berbagai macam sarana mereka lakukan, mulai dari pemberian bantuan untuk RT, jalan desa, pembangunan mushalla/masjid, dan sebagainya. Tentu semuanya berakhir dengan closing: meraih simpati masyarakat, sehingga warga berkenan memilihnya pada Pemilu nanti.
Partisipasi masyarakat dalam Pemilu ini sangat penting, karena dari hasil Pemilu nanti, akan terpilih para anggota parlemen yang dapat menyambung aspirasi rakyat, dan dapat mengantarkan mulusnya jalan menuju kursi kepresidenan. Jika kita melihat tingkat partisipasi pemilih dari Pemilu ke Pemilu, cenderung semakin menurun. Pada Pemilu 1999 mencapai 93%, Pemilu 2004 turun menjadi 85%, dan Pemilu 2009 turun lagi menjadi 71%. Pemilu 2014, diprediksi hanya tinggal 54%, namun prediksi optimis Lingkaran Survei Indonesia (LSI) masih pada angka 60%. Sedangkan LIPI mengatakan bahwa angka golput sekitar 35 %. Ini tentu menjadi keprihatinan yang serius, khususnya buat para anggota DPR, DPRD dan DPD yang telah ada selama ini. Analisis sederhananya, publik selama ini menganggap bahwa apa yang dilakukan para anggota parlemen, itu tidak memuaskan publik. Inilah PR berat buat para anggota parlemen di masa-masa mendatang.
Namun demikian, masyarakat yang kemudian memilih untuk golput, karena ulah dan perilaku anggota dewan selama ini yang tidak memuaskan, itu juga perlu diluruskan. Golput takkan menyelesaikan masalah apapun di negeri ini.

Logika Golput yang Lemah
Jika para pemilih golput beranggapan bahwa mereka memilih golput karena buruknya perilaku anggota dewan, maka sesungguhnya mereka justru meridhai terhadap siapapun yang menjadi anggota parlemen, orang baik maupun orang buruk. Seolah-olah mereka mengatakan, “silahkan kalian pilih siapa saja saya ikut.” Hal itu dikarenakan, walaupun mereka tidak memilih, tetapi mayoritas warga tetap memilih, sehingga akan muncul juga sejumlah parlemen sebagaimana ketentuan jumlah di suatu daerah. Terkecuali jika 100 % orang golput, itu baru menyelesaikan masalah, berarti semua orang tidak percaya dengan sistem yang berlaku dalam pemilu atau terhadap semua calon legislatif.
Dalam kaedah fikih, kita selalu dianjurkan untuk memilih akhaffudhdhararain atau mengambil yang lebih ringan dari dua bahaya yang akan muncul. Demikianlah Nabi Yusuf a.s. diajarkan oleh Allah s.w.t. untuk mengambil salah satu bahaya yang lebih ringan dari dua bahaya, yaitu bahaya bersekutu dengan pemimpin kafir dalam satu pemerintahan namun rakyat dapat disejahterakan, dan bahaya tidak bersekutu dengan pemerintahan kafir, namun rakyat menderita karena paceklik dan kelaparan. Ternyata Allah s.w.t. memilihkan buat Nabi Yusuf a.s. untuk tetap berkiprah dalam rangka kesejahteraan rakyat, walaupun ia harus bergabung dengan pemerintahan kafir. Berikut ayat yang menunjukkan bahwa pemerintahan Yusuf a.s. adalah pemerintahan yang tidak menjalankan aturan Allah s.w.t:
“Maka mulailah Yusuf (memeriksa) karung-karung mereka sebelum (memeriksa) karung saudaranya sendiri, kemudian dia mengeluarkan (piala raja) itu dari karung saudaranya. Demikianlah Kami mengatur rencana untuk Yusuf. Dia tidak dapat menghukum saudaranya menurut agama (undang-undang) raja, kecuali Allah menghendakinya. Kami angkat derajat orang yang Kami kehendaki, dan di atas setiap orang yang berpengetahuan ada yang lebih mengetahui.” (QS. Yusuf: 76)
Ibnu Zaid mengatakan bahwa dalam undang-undang raja, tidak ada pembolehan seseorang ditahan karena pencurian. Ini adalah undang-undang Nabi Ya’qub dan anak keturunannya (undang-undang Allah s.w.t.). Bahkan dalam ajaran Allah s.w.t. tersebut, disebutkan bahwa si pencuri dapat dijadikan budak yang diperjualbelikan. Sedangkan undang-undang negara mengatakan bahwa bagi pencuri diharuskan membayar dua kali lipat dari barang curian. Dengan demikian, pemerintahan dalam negara pada masa Yusuf bukanlah pemerintahan yang menegakkan undang-undang Allah s.w.t., namun menerapkan undang-undang buatan mereka sendiri. Walaupun demikian, Allah s.w.t. memilihkan untuk Nabi Yusuf a.s. agar tetap berpartisipasi dalam pemerintahan raja yang tidak mengikuti aturan Allah s.w.t, karena kemaslahatan untuk rakyat sangatlah jelas. Mereka dapat terhindar dari malapetaka 7 tahun paceklik. Demikian pula halnya dengan berpartisipasi dalam pemilu saat ini, dapat dianalogikan dengan kasus Nabi yusuf di atas. Jadi tidak ada alasan untuk golput.

Mencari Anggota Parlemen Ideal
Lantas siapakah anggota parlemen yang tepat untuk kita pilih? Sebelum itu perlu kita perhatikan tentang kriteria para pemilih atau orang yang mempunyai hak suara. Imam Mawardi, ahli tata negara Islam abad 5 Hijriyah, dalam bukunya al-ahkam as-sulthaniyah, pernah menyebutkan 3 kriteria yang harus ada pada orang-orang yang memiliki hak suara dalam mengangkat pemimpin. 3 kriteria itu adalah memiliki sikap adil dalam segala hal, memiliki informasi tentang calon pemimpin dan memiliki sifat bijak dalam menentukan pilihan pemimpin.
Kenyataannya, sikap adil dan sifat bijak seorang warga lebih sering terkalahkan oleh sikap pragmatis mereka dalam menentukan pilihan. Siapa memberi, itulah yang dipilih. Padahal seharusnya pemberian itu tidak boleh membutakan sikap adil dan sifat bijak seorang muslim. Disinilah falsafah orang Jawa -dalam aksara Jawa- sulit untuk dihilangkan, bahwa jika “dipangku, ya mati”. Jika seseorang diberi sesuatu, diberi uang/fasilitas dan sejenisnya, mereka akan takluk dibawah ketiak sang pemberi. Akhirnya hilanglah sikap adil dan sifat bijak sebagai seorang warga, bahkan sebagai seorang muslim.
Bercerminlah pada Nabi Musa alaihissalam, berapa banyak fasilitas, harta dan kenikmatan yang ia peroleh dari Fir’aun. Semenjak beliau lahir, sampai dewasa, hidup di bawah naungan dan perlindungan Fir’aun, sang musuh utama di kemudian hari. Tapi apakah hati nurani Musa buta? Apakah sikap adil dan sifat bijaknya dalam menentukan pilihan, menjadi bias? Ternyata tidak. Ketika Allah s.w.t. memerintahkan Musa a.s. untuk mengambil sikap berseberangan dengan Fir’aun, dengan tegas Musa menerimanya. Tidak terpengaruh sedikitpun dengan fasilitas yang sebelumnya ia peroleh. Di sini, yang menentukan sikap adalah “nurani”, bukan “perasaan” atau “pekiwuh”. Begitulah seorang muslim dalam bersikap. Bahkan walaupun Fir’aun berusaha menjatuhkan mental Musa a.s. sebelum Musa a.s. mengajaknya beriman kepada Allah s.w.t., tetap tidak dapat mempengaruhi tekad bulat Musa a.s. untuk menyampaikan kebenaran. Dalam surat Asy-Syu’ara’: 18-19, Allah s.w.t. mengisahkan tentang upaya Fir’aun menjatuhkan mental Musa a.s. dengan memunculkan masa lalunya:
            “Fir’aun berkata, bukankah kami mendidikmu di tengah-tengah kami sebagai orang tua dan engkau habiskan dari usiamu beberapa tahun tinggal bersama kami? Dan engkau telah melakukan apa yang engkau lakukan (yaitu membunuh seorang Qibthi, dari kaum Fir’aun) dan engkau termasuk orang-orang yang kafir (terhadap agama kami.” (QS. Asy-Syu’ara’: 18-19)
Namun demikian, Musa a.s. tidak merasa “pekiwuh” (perasaan tidak enak) terhadap Fir’aun, karena adanya kepentingan yang jauh lebih besar, yaitu penyelamatan rakyat dari perbudakan, kesewenangan dan kezaliman yang dilakukan oleh Fir’aun beserta para pejabat kerajaan.
Lantas siapakah yang seharusnya dipilih menjadi seorang pemimpin? Banyak ayat maupun hadits yang dapat dijadikan tolok ukur pemimpin ideal. Secara ringkas, setidak-tidaknya calon pemimpin haruslah orang mukmin (QS. At-Taubah: 23), adil (QS. Al-Maidah: 8) dan kuat lagi jujur (QS. Al-Qashas: 26).
Bahkan ada kriteria khusus yang secara terang-terangan disampaikan Allah s.w.t. dalam memilih calon pimpinan, yakni kualitas. Sebaliknya, Allah s.w.t. juga mengecam kriteria masyarakat yang menomorsatukan harta milik calon pemimpin. Demikian Allah s.w.t. berfirman:
“Nabi mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya Allah Telah mengangkat Thalut menjadi rajamu.” mereka menjawab: “Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?” Nabi (mereka) berkata: “Sesungguhnya Allah Telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.” Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah Maha luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 247).
Kualitas yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah ilmu yang luas dan fisik yang perkasa. Dengan ilmu yang luas, wawasan dan pengalaman yang dimiliki, seorang pemimpin mampu memenej urusan rakyatnya secara profesional. Demikian pula dengan fisik kuat yang dimilikinya, ia mampu mengayomi masyarakatnya dari serangan musuh dan juga mengayomi rakyat kecil dari kesewenangan pihak yang kuat, pihak yang otoriter dan sejenisnya.
Kriteria-kriteria tersebut penting dijadikan pedoman bagi setiap muslim, karena sebuah hadits mengingatkan kita tentang hal ini, yaitu:
“Barangsiapa mengangkat seorang pemimpin dari kelompok tertentu, padahal dalam komunitas tersebut ada orang yang lebih diridhai Allah, maka sungguh ia telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya dan kaum mukminin.” (HR. Hakim, dengan sanad shahih)
Hati nurani seorang muslim ideal dalam menentukan pilihan calon anggota parlemen, takkan takluk di hadapan fasilitas uang, harta dan sejenisnya. Tetapi ia akan takluk di hadapan kriteria-kriteria yang menyebabkan ia diridhai Allah s.w.t. Kriteria-kriteria tersebut setidak-tidaknya adalah beriman, adil, jujur dan fisik kuat yang dapat mengayomi rakyat kecil. Memilih seorang calon yang tidak baik, padahal ada calon yang baik yang kita ketahui, dapat menyebabkan seorang muslim dimurkai oleh Allah s.w.t., karena menjerumuskan rakyatnya ke dalam kesengsaraan atau kesulitan disebabkan perangai buruknya.
Secara sederhananya dapat diilustrasikan begini, seandainya ada 3 orang yang diridhai Allah s.w.t dari 10 calon anggota legislatif, namun kita memilih selain 3 orang tersebut, padahal kita mengetahui bahwa tidak ada yang lebih baik dari calon-calon 10 tadi, kecuali 3 orang tersebut, maka pilihan tersebut dapat menjadikan kita dimurkai oleh Allah s.w.t. karena menyebabkan warga masyarakat berada dalam kesengsaraan atau menyebabkan anggaran negara dihabiskan untuk kepentingan yang tidak jelas atau kepentingan pribadi.
Semoga kita semua termasuk yang diridhai Allah s.w.t. dalam menentukan pilihan, sehingga dapat mempertanggung-jawabkannya kelak di akhirat, saat berada di hadapan Sang Pemimpin Paling Adil. Dialah Allah, Rabbul ‘Izzati. Amin. Wallahu A’lam bish-shawab.