Aku mengenalnya karena tuntutan. Waktu itu, kelompok pengajianku harus dipindah dan di “pegang” oleh beliau. Aku sebenarnya merasa canggung dan tidak enak hati. Kenapa mesti di pindah?. Kepada siapa lagi aku menghamburkan curhat-curhatku?. Akankah “orang baru” ini akan bosan dan mengantuk mendengar keluhanku?. Akankah guruku nanti ini akan merasa nyaman dengan sifatku yang meledak-ledak, penuh semangat dan selalu saja protes tentang sesuatu?. Aku tak tahu, dan sungguh merasa malas memikirkannya.
Pertemuan pertama kami terjadi pada sekitar pertengahan tahun 2002. Waktu itu ba’da subuh. Dan udara begitu dingin. Dalam perjalanan awalku dari bilangan M. Yamin (aku masih tinggal di sekretariat lama KAMMI), aku membatin; “kenapa pertemuannya mesti ba’da subuh? Di udara yang begitu dingin?. Tidak adakah waktu lain?”. Tapi, karena -sekali lagi- tuntutan dan perintah dari guru pengajianku sebelumnya, aku tetap ikhlas datang sambil menunggu dan menikmati pengajian yang akan aku jalani bersama guru yang berbeda. Belakangan aku tahu, kenapa pertemuannya mesti ba’da subuh. Dan sungguh, kata “karena” itu mengagumkanku. Hingga kini.
Hari pertama aku menemui rumahnya dengan kesan yang tak berbekas. Rumahnya di bilangan Juanda, tipikal perumahan lama jaman sembilan puluhan, setengah batako, dengan halaman luas tanpa tanaman penyejuk mata. “Aih, sayangnya” dalam hatiku. Karena aku mencintai halaman rumah yang segar menghijau, aku tentu saja akan menyayangkan siapapun yang tidak menanami halaman rumahnya dengan bunga dan tanaman peneduh mata. Belakangan juga, aku nantinya akan tahu kenapa halaman rumahnya tetap di semen dan tak ditanami rumput. Walaupun memang, dua atau tiga tahun belakangan, aku dapati, rumahnya mulai rimbun dengan tanaman.
Sekitar jam enam pagi, pintu rumahnya dibuka. Lalu muncullah wajah teduhnya yang bercahaya. Kelopak matanya menghitam. “Orang ini kurang tidur” kataku dalam hati. Tapi senyumnya begitu mempesona. Suatu waktu nanti, wajah teduh bercahaya ini akan selalu aku ingat saat mengingati pesan yang indah dari cicit Rasulullah Hasan Al-Bashri, waktu ditanya; “mengapa seorang mukmin yang rutin ber-tahajjud berwajah indah?”. Lalu ulama shalih itu menjawab; “karena mereka (yang rutin melakukan tahajjud) senantiasa bermesra dengan Allah dan (karena itu) wajahnya terbasuh pancaran cahaya-Nya”.
Setelah mendapati kami di depan pintu, dengan antusias beliau mempersilahkan kami semua masuk. Pemandangan yang aku lihat pertama kali adalah buku-bukunya. Tak kurang dari tiga lemari besar menghiasi dinding rumahnya, dengan dihiasi buku-buku berbagai disiplin keilmuan. Kebanyakan tentang da’wah dan Islam. “Aha, aku akan menyukai orang ini. Karena aku suka buku dan suka berdiskusi”. Itu saja alasannya. Dengan hidangan awal berupa teh hangat dan sedikit camilan, kami memulai pengajian.
Begitulah awal perkenalannya. Tapi selanjutnya, setiap pekan, hatiku diisi oleh keterpesonaan yang menggulung-gulung tak pernah berhenti. Di balik sikap kalemnya, beliau menyimpan segunung cahaya dan ribuan semangat yang tak pernah habis di bagi kepada kami atau kepada siapapun. Beriring-langkah dengan santunnya, setiap kata yang keluar di tiap pekan perjumpaan berisi renungan yang begitu dalam, begitu luas, begitu mempesona. Karena hatinya begitu tulus, beliau menjadi perajut kata-kata penuh semangat yang begitu indah. Jika saja beliau bisa menuangkan kata-katanya dalam bentuk tulisan, aku yakin, beliau akan menjadi penulis cerita motivasi yang melegenda.
Karena, dengan ramuan kesederhanaannya, beliau mampu menceritakan keindahan berjuang di jalan Allah. Perjalanan panjang itu indah. Pengorbanan itu indah. Bersaudara itu indah. Ukhuwah itu indah. Menjadi siapapun itu indah. Amanah-amanah itu indah. Kemenangan itu indah. Tangisan itu indah. Sakit itu indah. Kematian itu indah. Dan kunci keindahan itu ada di hati. Hati-lah yang membuat semua jalan da’wah nan mendaki seperti jalan lengang menuju firdaus. Kata beliau; “bagi pejuang, semua pertempuran selalu berbuah kemenangan. Tak pernah ada namanya kekalahan. Kekalahan sejati bagi pejuang itu adalah ketika ia lari dari medan pertempuran”.
Dalam perjalanan rutinitas pengajian kami, sering kali aku begitu geli tapi lalu mataku menyembab diam-diam melihatnya. Saat beliau memejamkan mata dan terkantuk-kantuk di antara tilawah pembuka pengajian kami. Aku juga tahu belakangan kenapa beliau selalu terkantuk-kantuk. Beliau hanya sempat beristirahat sekitar tiga sampai empat jam sehari, dengan alasan yang benderang. Alasan yang sama kenapa beliau dan istrinya tak sempat memelihara tanaman di halaman rumahnya. Alasan yang sama kenapa beliau hanya punya waktu ba’da subuh untuk bertemu-muka dan menyapa hati kami. Alasan yang sama kenapa beliau menyempatkan tidur di sepuluh menit sela sebelum pengajian di mulai.
Beliau tak sempat menanami halaman rumahnya dengan tanaman penyejuk mata, juga tak sempat beristirahat dengan puas seperti halnya orang lain pada umumnya. Dan beliau tak lagi punya waktu luang untuk menyapa hati kami, kecuali subuh, dan hanya hari itu. Sekali lagi, hanya hari itu. Karena beliau terobsesi akan datangnya hidayah bagi ribuan hati melalui perantaranya. Karena beliau terobsesi untuk menghadirkan sejengkal taman syurga di hati-hati yang meranggas dan nelangsa. Karena beliau terobsesi untuk meninggal dunia dalam keadaan sedang menjejakkan cita-cita mulia di dada manusia. Karena pagi hingga larut malamnya hanya beliau isi dengan puluhan pekerjaan da’wah yang ingin beliau tunaikan. Karena -seperti yang berkali-kali diungkapkan kepadaku baik saat berdua maupun saat bersama saudaraku yang lain- beliau telah ber’azzam; “istirahat bagi seorang pejuang adalah ketika ia meninggalkan dunia ini”.
Maka benarlah Imam Syahid yang mengabadikan pesannya kepada seluruh da’i di muka bumi; “beban da’wah hanya dapat diberikan oleh mereka yang memahami dan memberikan apa saja yang kelak di tuntutnya; waktu, kesehatan, harta, bahkan darah. Mereka begadang saat semua tertidur lelap. Mereka gelisah saat yang lain lengah. Seakan-akan lisannya yang suci berkata, tidak ada yang kuharap dari kalian. Aku hanya mengharap pahala Allah”.
Pesan yang bila kuingat, selalu membuatku menangis, karena kapasitas komitmenku yang masih perlu dipertanyakan di jalan da’wah ini. Karena ketangguhan jiwaku tak seperti Imam Syahid atau da’i sesudahnya seperti guruku dan para asatidz da’wah lainnya. Sering aku berdo’a kepada Allah, sambil sesekali mengingat senyum teduh guruku itu; “Ya Allah, jadikanlah jiwaku jiwa yang tangguh seperti jiwanya. Karena misi kebenaran butuh jiwa-jiwa tangguh untuk memikulnya di jalan panjang nan tak berujung ini”.
Bertahun-tahun kami bertemu muka setiap pekan, saling mengenal, menjenguk, mengira-ngira dan menyapa hati. Hubunganku dengan beliau seperti hubungan sahabat akrab yang tak terpisahkan. Aku menganggapnya ayah dan abang. Ia menganggapku adik bengal yang tak juga lurus berjalan. Diantara kami ada marah, kecewa, sabar, ketidakmengertian, kemengertian, bahu-membahu, kerjasama, senyum dan maaf.
Bagian 2. Cerita Ketulusan Cinta
Ada beberapa peristiwa yang membuat hubunganku dengan beliau begitu erat. Hingga kini. Peristiwa pertama tentu saja tentang perhatian. Seolah-olah beliau ingin menjelaskan dengan sikapnya, bahwa wujud nyata cinta seorang al-akh adalah perhatian. Kadang-kadang, perhatian yang diberikan tak selalu berupa tutur kata manis. Kadang justru marah yang keras-menyala. Seperti perhatian beliau kepadaku. Beliau memang terkenal keras atas prinsip yang dipegangnya. Tapi selalu lembut saat harus menerjemahkan prinsipnya kepada para belia mujahid da’wah yang meminta nasihatnya. Tapi sepertinya perlakuan itu tidak berlaku bagiku. Beliau mengajarkan keteguhan, pun ketika aku pada saat itu sedang terhimpit. Walaupun ajaran tentang keteguhan itu di selubungi rasa marah.
Marah yang pertama terjadi saat aku meminta ijin bekerja di lembaga riba. Marah yang kedua saat aku mengikuti proyek riset yang diselenggarakan oleh sebuah lembaga riset dan harus meninggalkan pengajian selama dua bulan. Alasanku cuma karena uang dan pengalaman. Dan beliau begitu masygul karena jiwa mujahid tangguh harusnya bisa melewati cobaan kecil seperti itu. Peristiwa pertama reda, karena aku tak lagi melanjutkan tawaran pekerjaan itu. Peristiwa kedua bener-benar membuatnya meledak, karena aku bersikukuh menjalaninya. Lalu aku kembali setelah dua bulan itu. Tapi hatinya digores luka. Aku tak pernah memaafkan keras-kepalaku sejak saat itu.
Peristiwa kedua adalah pengorbanan. Waktu itu tahun 2005, dua tahun setelah kelulusanku. Dan aku sedang di hinggapi euforia kelulusan kuliah. Umurku baru dua puluh dua jalan dua puluh tiga saat lulus S1. Tahun 2005 aku menganggap diriku masih terlalu muda. Aku telah menanamkan mimpi jauh-jauh hari bahwa ketika aku lulus, aku akan leluasa dan merdeka mengeksplorasi gagasan gerakan di KAMMI dan di jalanan tiap hari. Tapi peristiwa berat menimpaku. Ayahku meninggal dunia di usia lima puluhan. Hari pertama aku mendengar kabar itu, aku begitu limbung. Berkali-kali aku hampir pingsan.
Orang pertama yang kuhubungi adalah beliau. Dengan segera, beliau menyuruhku ke rumahnya. Sesampai di rumah, beliau telah sediakan sejumlah uang untuk membeli tiket buatku dan sesegera mungkin mengurus pemakaman ayahku. Aku betul-betul menangis terharu. Dua tahun setelah itu, saat aku mulai mendapatkan penghasilan mengerjakan proyek-proyek riset, aku mencoba mengganti uang beliau. Beliau dengan tegas menampiknya. “Biarkan menjadi pemberat timbangan kebaikan saya”, jawabnya singkat.
Tapi yang paling penting adalah hari-hari setelah itu. Beliau sangat memperhatikan aktivitas dan tumbuh-kembangku. Selain mengarahkan kerja dan aktivitas sesuai potensiku, beliau juga menyemangatiku untuk mengasah kemampuan menulis, melanjutkan S2, menjadi pengusaha, peneliti atau dosen. Sekali waktu, saat air mataku mengambang di pelupuk mengingat ayahandaku, beliau menceritakan panjang lebar tentang ayahanda-nya yang aktivis partai, yang lalu muak dengan politik, mendekat pada Allah, dan melarang anaknya masuk partai, tapi lalu berbangga karena anaknya menjadi aktivis partai da’wah.
Aku menimpalinya dengan cerita yang serupa; “Alhamdulillah syaikh, cerita ayahanda kita berdua kurang lebih sama. Ayahanda saya dulu seorang aktivis partai orba, yang muak dengan kebusukan politik lalu menemukan jalan hidayah. Sempat masuk di Jama’ah Tabligh, tapi lalu melihat jalan terang dan (kembali) berkecimpung di partai da’wah. Di PKS, almarhum sempat mengaji dan menjadi penasehat DPC di kampung. Menyumbangkan dua kursi dari dapil di kampung dari total empat kursi”. “Alhamdulillah, semoga pengorbanan orangtua kita menjadi pahala yang bisa dibanggakan di Yaumul Hisab” timpal beliau menguatkan kami berdua.
Peristiwa ketiga adalah penumbuhan. Peristiwa ini terjadi saat beliau diamanahi untuk mengumpulkan dana sumbangan bagi perjuangan rakyat Palestina. Sehari sebelumnya aku masih bertegur-sapa dengannya. Tapi, malam itu aku mendengar khabar mengejutkan !. Beliau terserang stroke !. Beliau tak sadarkan diri. Menurut cerita beberapa ikhwah, dua harian memang beliau tak beristirahat karena menyiapkan acara tersebut di tambah urusan kedewanan. Waktu itu beliau memang anggota legislatif DPRD Kaltim.
Kalau urusan menjadi wakil rakyat, beliau tak perlu diragukan. Karena leadershipnya diakui oleh semua koleganya. Bahkan beliau terkenal sebagai salah satu diantara beberapa macan Karang Paci. Tapi sekali lagi, kerendah-hatian beliau begitu mempesona. Dulu, waktu ada proyek pembuatan buku “Bukan di Negeri Dongeng” untuk menceritakan ke publik tentang kejujuran, keberanian dan ketulusan aleg-aleg PKS se-Nusantara, beliau sempat mendapat tawaran untuk diceritakan kisah perjuangannya dan ditulis di buku itu. Tapi dengan halus, beliau menolaknya. Rupanya, beliau teringat kalimat peringatan dari seorang shalih; “keterkenalan bagi seorang da’i adalah ujian. Yang akan menguatkan atau menggelincirkan”.
Kesibukan di da’wah dan politik yang tumpuk-menumpuk itulah yang melelahkan fisik dan pikiran beliau. Saat hendak mengambil air wudhu untuk qiyam, beliau jatuh tak sadarkan diri. Aku begitu terpukul. Sungguh-sungguh terpukul. Karena jauh di dalam hatiku aku merasa bahwa aku masih begitu kekanakan. Belum juga kokoh berdiri sebagai seorang dewasa. Tapi sepertinya sakit beliau berupa stroke dan terapi penyembuhannya yang menahun waktu itu menjadi pelecut asa bagiku, bahwa aku harus segera mendewasakan diri. Harus dewasa. Harus kuat memikul beban. Harus kuat.
Peristiwa keempat adalah perawatan. Tahun 2008 dan 2009 adalah masa-masa sulit buatku. Saat-saat aku jatuh karena beberapa hal. Karena kredibilitas publik, karena bisnis dan hal lainnya. Karena peristiwa yang melantakkan integritas ku. Aku juga sempat kehilangan pekerjaan rutinku. Aku benar-benar limbung waktu itu. Sungguh teramat limbung. Suatu waktu, ketika aku terlalu memikirkan begitu dalam masalah-masalahku, aku mengalami kecelakaan di jalan raya yang sangat parah. Semua akhirnya bisa menebak. Orang yang pertama kukhabari adalah beliau.
Dan selang sehari setelah kukhabari, beliau mengunjungiku. Ia datang bersama saudaraku tersayang yang lain. Sebagian masalahku hilang saat aku melihat senyum iba dan beribu ketulusan dari beliau. Beliau mengulangi kata-kata yang sering diucapkannya kepadaku; “Ada hamba-hamba Allah bukan nabi, bukan syuhada namun “disamakan” oleh para nabi dan syuhada dihadapan Allah”.
Beliau melanjutkan dengan menceritakan hadits riwayat Ahmad. Bahwa orang yang di samakan dengan para nabi dan syuhada itu adalah “mereka orang-orang yang saling mencintai dengan ruh Allah, bukan karena hubungan sedarah atau hubungan kepentingan memperoleh kekayaan. Demi Allah, wajah-wajah mereka cahaya. Mereka takkan merasakan ketakutan ketika banyak orang yang ketakutan dan tidak bersedih, bila ummat manusia bersedih”. Sejak hari itu aku menghadapi masalah dengan senyuman. Bayang keteduhan beliau selalu membersamaiku di saat aku gundah.
Kini, walaupun aku telah berpindah keluar kota, aku tetap rutin mengunjunginya, dua kali sepekan. Minimal sekali sepekan. Kadang, ketika rasa kangen begitu membuncah, aku mengajak anak istriku berkunjung ke rumahnya. Seringkali aku datang ke tempat yang kami janjikan sebelumnya untuk bertemu. Seringkali juga kami juga bertemu di rumahnya yang tetap asri dan menenangkan hati, walau minim tanaman.
Bagian 3. Nasihat Tak Terlupakan
Ada juga beberapa nasihat yang membekas darinya yang mengabadi dalam buku catatan hatiku. Nasihat yang senantiasa menjadi bunga pengantar mimpi tentang kedamaian, keluhuran akhlak, dan kesungguhan yang meninggi. Ia, nasehat-nasehat itu, menjelma menjadi bisikan-bisikan menggema yang membersamai langkah kaki. Ia senantiasa menjadi tetulisan yang mencercah di cakrawala saat aku duduk dan berdiri dalam sepi perenungan.
Nasihat pertama yang begitu membekas di hatiku adalah nasihat tentang “Itsar”. Suatu waktu, aku bertengkar hebat dengan seorang al-akh. Pertengkarannya mungkin terbilang sederhana. Masalah anak muda pada umumnya. Tapi tidak bagi beliau. Saat aku adukan masalah pertengkaran ini, beliau berkata dengan raut muka yang mengeras; “akhi, jika ada dua orang saudara yang bertengkar, maka hanya ada dua kemungkinan; hati salah satunya bermasalah, atau hati keduanya bermasalah”. Aku terduduk diam mendengar kata-katanya. Hujan deras mengguyur di dalam hati. Perasaan “aku benar dan dia salah” yang sebelumnya menghinggapi hatiku, berubah menjadi keternaifan yang teramat sangat.
Lain waktu, saat aku menceritakan bahwa dadaku merasa sesak, walaupun telah mendahului meminta maaf kepada seorang al-akh yang telah aku perselisihi, beliau mengutarakan kata-kata indah yang beliau ambil dari nasihat seorang ulama; “akhi, saudara yang lurus memandang pada saudaranya lebih utama dari pada dirinya sendiri”. Di lain waktu, beliau mengutip kata-kata yang menenang-membekas dari seorang ulama juga; “akhi, ukhuwah itu saudara seiring keimanan, sedangkan perpecahan adalah saudara kembar kekufuran. Kekuatan ukhuwah adalah kekuatan persatuan; tidak ada persatuan tanpa cinta kasih; minimal cinta kasih adalah kelapangan dada dan maksimalnya adalah itsar. Itsar itu mementingkan orang lain dari diri sendiri”.
Lain waktu, beliau menceritakan apa itu itsar. Di depan seorang masyaikh da’wah senior yang sekarang pindah ke Sulawesi Selatan, beliau pernah menangis. Betapa beliau tak tahan menjadi anggota legislatif dan ingin menjadi “aktivis tarbiyah”. Menikmati hari-hari mengisi halaqoh, dauroh atau pelatihan peningkatan kapasitas kader da’wah. Beliau ingin menyerahkan urusan legislatif kepada al-akh yang lain dan ingin berkonsentrasi penuh pada penataan manajemen di partai yang beliau rasa masih lemah. Sayangnya, keinginan beliau tidak diaminkan oleh jama’ah. Beliau tetap berlapang dada dan bersemangat dengan amanah-amanah dan perintah jama’ah.
Nasihat kedua yang selalu aku ingat adalah nasihat bagaimana “mengukur kejujuran”. Beliau punya standar untuk mengukur kejujuran dan kebajikan orang. Ajaibnya, standar yang beliau pakai selalu menyandarkan pada riwayat salafushalih. Kata beliau suatu waktu; “Akhi, jika engkau ingin mengetahui kebenaran dan ketulusan seseorang dalam sebuah masalah, terutama tentang agama-nya, maka lihatlah subuhnya. Jika ia merutinkan diri berjama’aah di subuh hari di masjid jami’, maka ia orang yang terang sanubari-nya. Karena jama’ah di subuh hari bagi Nabi, para sahabat dan ulama adaalah tolok ukur kejujuran atau kemunafikan.
Nasihat ketiga yang begitu membekas buatku adalah nasihat tentang “cara berpikir atas sebuah masalah”. Sangat sering beliau menyatakan dengan senyum tulus; “Akhi, seorang da’i itu harus luas wawasannya, terang fikirannya dan mengangkasa visi dan citanya. Bacalah banyak buku. Dari berbagai disiplin ilmu. Hingga setidaknya antum menguasai apa yang menjadi topik dan pembicaraan intelektual, aktivis dan masyarakat. Banyaklah berdiskusi dan pimpinlah opini. Islam bisa di menangkan karena gagasan dan narasinya merajai kepala dan hati manusia. Tapi satu yang perlu diingat. Asah keahlian terbaikmu. Ikhwah juga jangan sampai hanya menjadi jack of all trades, but master of none. Hanya banyak tahu tapi tidak ahli apapun”.
Beliau melanjutkan dengan cerita tentang masyaikh da’wah. “Dulu, Ustadz Anis Matta senantiasa merutinkan diri untuk membaca buku minimal tiga buku dalam sehari. Saat beliau ingin mendalami tentang sesuatu, beliau senantiasa mendisiplinkan diri untuk membaca buku-buku yang berisi bidang dan pengetahuan yang ingin beliau pelajari. Pernah, beliau membaca literatur berbahasa arab selama dua tahun, dan menghindari bahasa lain, karena ingin sempurna penguasaannya tentang bahasa arab. Begitu juga ilmu-ilmu lain. Outputnya sekarang terlihat jelas. Beliau menjadi sosok yang secara keilmuan, di atas rata-rata ikhwah kebanyakan”.
Nasehat keempat yang sangat membekas adalah tentang “keberanian dan obsesi da’wah”. Di sela-sela pengajian, beliau banyak bercerita tentang masa lalunya, aktivitasnya dan impian masa depan. Suatu waktu, beliau pernah bercerita; “Akhi, waktu SD dulu, saya akui saya teramat sangat nakal. Terhitung setiap hari pasti berkelahi. Almarhum ayah saya selalu menanyakan jika saya menangis dan pulang ke rumah?. Diapain, tanya ayah saya. Kalau saya bilang dipukul teman, ayah saya pasti akan menyahut; balas dong. Jadi orang harus berani. Begitulah ayah saya akh, selalu mengajarkan tentang keberanian menghadapi siapapun. Karena itu pula, saya kemudian mempelajari Karate hingga ban hitam. Kelak, mental berani itu sangat saya rasakan pentingnya untuk membela da’wah. Saya pernah membentak seorang Jenderal pada saat Pilgub 2003, karena cara berpikirnya yang salah dalam strategi pemenangan dan berpotensi membuat kalah calon yang diusung jama’ah. Saya tidak takut akh. Karena kita berjuang di barisan kebenaran. Seorang mujahid harus berani dan pantang menyerah”.
Lain waktu, beliau bercerita tentang masa kecilnya ketika SMP hingga lulus kuliah. “Akhi, waktu saya SMP, setelah mengalami masa-masa bengal di SD, saya mulai banyak merenung tentang kehidupan. Saya mulai keranjingan membaca buku. Bahkan saya menyukai buku-buku atheis yang mempertanyakan eksistensi Tuhan. Sebagai bentuk dialektika dalam diri saya, saya sampai meninggalkan sholat. Tapi tak lama kemudian, hidayah Allah datang. Sekitar kelas tiga SMP saya mulai bersentuhan dengan kegiatan masjid dan da’wah islam. Saya mulai masuk PII dan mengisi pengajian, padahal waktu itu belum mengerti yang namanya halaqoh. Tapi memang di PII (Pelajar Islam Indonesia), ada semacam tata aturan pendidikan kader seperti halaqoh. Saya mengalami fase pencarian pola da’wah dan gerakan yang sesuai itu hingga kuliah di STAN. Pada saat di STAN itulah, saya menjadi sangat serius berda’wah, mulai menjadi aktivis masjid hingga menjadi Ketua Umum da’wah masjid di STAN”.
“Dalam puncak keseriusan saya di da’wah dan harokah, saya sampai pernah memegang halaqoh hingga enam belas halaqoh. Jadi saya bagi waktu dalam sepekan untuk mengisi enam belas kelompok binaan. Ohya, kelompok usar saya juga gabungan dari berbagai mas’ul da’wah kampus di Jakarta dan sekitarnya. Ada ketua BEM atau Ketua Masjid dari ITB, UI, IKIP Jakarta, hingga IPB. Masing-masing sibuk dengan kegiatan da’wah di kampusnya. Karena murobbi saya adalah penanggungjawab da’wah yang membawahi da’wah di beberapa negara, kami sering melakukan liqo mandiri. Terlecut oleh kesibukan murobbi kami, kami juga mulai melakukan rencana-rencana membina halaqoh di seluruh Jawa dan Sumatera. Jadi setiap akhir pekan, mulai Jum’at hingga Ahad, kami naik kereta dan bus, ada yang ke Lampung, ada yang ke Jawa Timur atau daerah lain di luar Jakarta, untuk merekrut atau membuka kelompok baru di kalangan SMA lalu kemudian kembali lagi ke Jakarta pada Sabtu sore atau Ahad pagi. Antum bisa bayangkan bagaimana cara kami mengatur waktu antara kuliah, menjadi aktivis masjid atau BEM, membina halaqoh, membuka kelompok halaqoh baru hingga mengelola amanah-amanah kelompok baru dari hasil rekrutan kami”.
“Obsesi-obsesi itu tetap saya pelihara hingga lulus kuliah. Saat pertama kali menginjakkan kaki di Kalimantan Timur, saya melapor ke murobbi saya almarhum Rahmat Abdullah. Beliau bertanya kepada saya tentang apa obsesi yang akan saya kerjakan di ladang da’wah baru di Kaltim. Dan saya menjawab tegas. Beri saya waktu setahun dan saya akan berikan dua puluh lima kader da’wah, begitu janji saya. Dan saat waktu yang dijanjikan tiba, saya telah persembahkan enampuluh kader dari Kaltim, Kalsel dan Kalteng”.
Lain waktu juga beliau juga bercerita tentang obsesi yang pernah beliau capai. “Akhi, dulu waktu kami aktif di kegiatan masjid di STAN, dan saya menjadi Ketua Umumnya, kami mengalami kendala dengan dana operasional masjid. Berhubung ikhwah pada saat itu juga kesulitan dalam hal keuangan maka saya mencoba mencari terobosan. Pada saat itu, mahasiswa di STAN, selain di gaji, juga mendapatkan beras dari pemerintah. Kalau tidak salah 15 kg setiap bulan. Maka saya umumkan kepada seluruh ikhwah untuk menyumbangkan berasnya untuk kemudian dijual di Pasar Senen oleh ikhwah yang kita amanahi untuk menjual. Ikhwah yang saya beri amanah untuk menjual itu, saya tekankan untuk mengelola bisnis penjualan beras secara profesional. Sejak saat itu, keuangan masjid tidak pernah seret lagi, dan tercatat di masa saya, masjid kampus STAN banyak melakukan kegiatan gemilang dengan dana mandiri dan sangat melimpah”.
Bagian 4. Bekal Masa Depan
Dalam hal keteladanan dan kesungguhan berda’wah, beliau juga pernah memberikan nasihat-nasihat gemintang. Nasihat yang aku ingat antara lain adalah “keteladaan di dalam jama’ah”. Bagi beliau, seorang al-akh agar bisa dipercaya, ia harus menunjukkan kualitas keimanan, profesionalitas kerja dan keutamaan dalam persaudaraan. Jika memungkinkan, ibadah yaumiah kita dipelihara dengan shalat berjama’ah dengan paling awal datangnya, juga menjaga ibadah-ibadah sunnah. Berusahalah menjadi ikhwah yang paling merdu dan bagus bacaaan tilawahnya. Begitu juga dalam rapat-rapat da’wah. Berusahalah untuk datang paling awal, berusahalah untuk menampilkan data paling lengkap atas sebuah masalah, paling menguasai problem dan solusi tapi mampu membahasakan dengan bahasa yang sederhana, lugas, ilmiah tapi tetap lembut.
Nasihat yang lainnya yang juga akan menjadi bekal perjalananku adalah nasihat tentang “skala prioritas”. Bagi beliau, da’wah adalah prioritas. Dan semua urusan da’wah dimulai dengan beresnya seorang al-akh akan rutinitas nya menghadiri halaqoh. Seberat apapun pekerjaan seorang ikhwah, sesulit apapun tantangan hidupnya dan sesibuk apapun aktivitas kehidupannya, semua harus menghadiri halaqoh. Tarbiyah adalah pangkal da’wah dan tiada tarbiyah tanpa pertemuan. Beliau dengan berkaca-kaca di selimuti kecewa pernah bercerita tentang seorang ikhwah pejabat publik yang begitu sibuknya aktivitasnya hingga tiga pekan tak menghadiri halaqoh.
Beliau menceritakan tentang teladan komitmen dalam da’wah dan jama’ah dengan menceritakaan kisah Ustadz Hilmi Aminuddin. “Antum tahu bagaimana sibuknya Ustadz Hilmi. Sibuknya melebihi SBY, karena jadwal beliau yang begitu padat, menghadiri rapat, menerima kunjungan, memberikan taujih atau melakukan kunjungan ke berbagai daerah. Suatu waktu, saat Ustadz Hilmi berkunjung ke sebuah daerah di Indonesia Timur yang direncanakan harus di hadiri selama dua hari, pada hari pertama setelah kunjungannya, tiba-tiba Ustadz Hilmi membeli tiket pulang ke Jakarta, dan datang lagi keesokan harinya. Saat ikhwah dari daerah itu bertanya kenapa Ustadz Hilmi menyempatkan pulang lalu kembali lagi, Ustadz Hilmi menjawab bahwa ada kesibukan yang tak bisa ditinggalkan. Kesibukan itu, kata Ustadz Hilmi; menghadiri halaqoh”.
Menurut beliau juga, ada beberapa prioritas yang harus dikerjakan oleh setiap ikhwah. Prioritas itu memiliki binaan halaqoh, mempelajari bahasa arab dan inggris, menguasai teknologi sosial media dan membagus kan (tahsin) bacaan qur’an. Bagi beliau, membina halaqoh adalah syarat kedewasaan seorang ikhwah. Ia menjadi prasyarat utama bagi seorang ikhwah untuk mendapatkan amanah da’wah yang lebih besar dari sebelumnya. Bagi beliau juga, seorang ikhwah harus mempelajari bahasa arab dan inggris atau bahasa internasional lain. Karena, zaman telah berubah, da’wah telah menyebar ke seluruh dunia, dan hubungan dan jarak menjadi kabur. Ikhwah bisa dengan leluasa pergi atau berkunjung ke negara lain. Interaksi antar bangsa menjadi sesuatu yang jamak. Dan bahasa adalah pokok awal komunikasi.
Begitu inginnya beliau mempelajari bahasa arab dan inggris, dengan keterbatasan dan kesibukan beliau, beliau tetap menyempatkan diri untuk mengikuti kursus bahasa arab setiap senin hingga jum’at. Beliau juga mewajibkan istrinya untuk belajar bahasa arab. Di detik lain, beliau bercerita tentang pentingnya membaguskan bacaan qur’an. Beliau memandang bahwa masyarakat umum adalah masyarakat yang masih begitu hormat dengan siapapun yang menguasai hapalan Al-Qur’an dan memperdengarkannya dengan sangat bagus. Jika ikhwah bisa membaguskan bacaan qur’an, maka masyarakat akan tsiqoh dan percaya pada kader da’wah. Selain memperbagus bacaan qur’an, tak lupa beliau sampaikan tentang pentingnya ikhwah menguasai teknologi dan media sosial. Bagi beliau, media sosial bisa menjadi alat untuk mengkomunikasikan secara efektif pikiran-pikiran jama’ah tentang perbaikan masyarakat. Media sosial juga bisa menjadi alat yang mengkebiri dan menghancurkan nama baik jama’ah, karena itu, kita wajib mengantisipasi dan menjaganya.
Nasihat lain yang tergurat di hatiku adalah nasihat tentang “pandangan yang benar tentang posisi dan peran”. Bagi beliau, seorang ikhwah yang benar, adalah ikhwah yang senantiasa memproduksi semangat untuk berperan besar dalam da’wah dan bukan semangat menggebu mengejar jabatan, posisi, dan gelar-gelar duniawi lainnya. Kata beliau, ada semacam pergeseran yang mewabah di kalangan masyarakat, bahwa masyarakat mulai di hinggapi jiwa-jiwa kerdil dan pengecut yang menginginkan otoritas, kekuasaan, dan jabatan, tetapi tidak mau bertanggung jawab bagi masa depan. Ikhwah harusnya menegaskan sebaliknya. Ikhwah harus seperti kata Ustadz Hilmi dan peribahasa arab yang dikutipnya; “kun kitaaban mufiidan bila ‘unwaanan, wa laa takun ‘unwaanan bila kitaaban”. Mengokohlah kita dalam bentuk kitab yang bermanfaat walau tanpa judul. Tapi, jangan sekalipun kita menjadi insan yang memiliki judul tapi tanpa kitab. Beliau menegaskan berkali-kali, bahwa jabatan itu tak penting dalam dunia da’wah. Yang paling penting adalah kontribusi. Maka sungguh biasa sekali peristiwa pencopotan Panglima Khalid oleh Khalifah Umar, karena dengan tanpa jabatan panglima-pun seorang Khalid tetap menjadi prajurit dengan beribu obsesi meninggalkan bumi.
Di lain kesempatan, beliau menceritakan kepadaku tentang betapa tak pentingnya pandangan manusia dan ikhwah pada umumnya tentang amal seorang ikhwah. Beliau begitu masygul jika ada ikhwah yang masih mengharapkan pujian saat melakukan kerja-kerja da’wah. Karena beliau teringat akan cerita di zaman Rasulullah, dimana ada seorang sahabat yang tak di kenal di kalangan manusia, tapi senantiasa menjadi pembicaraan penduduk langit bernama Uwais Al Qarny. Sahabat Rasulullah itu senantiasa beribadah dengan khusyu’ dan sembunyi-bunyi, tak pernah lelah memberikan kontribusi menggunung tinggi walaupun tiada siapapun yang memuji. Maka benarlah Rasulullah yang menjadi inspirasi guruku yang bersabda; “sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, yang kaya (mencukupkan apa adanya), dan yang beribadah secara khafi (sembunyi-sembunyi)”.
Nasihat lainnya yang juga membuatku terjerembab dalam rasa malu yang bertubi-tubi adalah nasihat tentang; “istiqomah dan pantang menyerah”. Nasihat itu beliau berikan terkhusus buatku. Saat aku mendapatkan masalah bertubi-tubi yang menyebabkan aku tak begitu semangat menghadiri halaqoh atau kegiatan jama’ah lainnya, beliau terhitung lima atau enam kali bercerita kepadaku tentang kisah nyata pada saat beliau menjadi Ketua Umum Masjid di STAN.
“Dulu, waktu saya menjadi Ketua Umum Masjid di STAN, di kalangan dosen dan mahasiswa, ada dua organisasi yang mendominasi dan sangat disegani di kampus saya. Dua organisasi itu adalah Mapala (organisasi pecinta alam) dan Masjid STAN. Setiap tahunnya, dua organisasi ini bersaing untuk berebut pengaruh di pemilihan BEM STAN. Di antara kedua organisasi ini, ada semacam persaingan diam-diam. Suatu waktu, di sebuah kota, diadakanlah lomba lintas kota. Kalau tak salah Lomba Lintas Kerawang-Bekasi, semacam lomba menapaki perjalanan pejuang di antara dua kota, dengan berjalan kaki. Saya berpikir, bahwa inilah saatnya untuk “menundukkan” anak-anak Mapala. Maka saya mencari ikhwah yang mau dan mampu mengikuti lomba itu. Saya menemukan seorang al-akh yang mau, dan kebetulan, al-akh yang menjadi relawan ini adalah penggemar olahraga kepecinta-alaman. Maka, pada hari H kegiatan, ikhwah itu mengikuti lomba tersebut. Anak-anak Mapala menurunkan timnya yang terdiri dari lima atau sepuluh orang”.
“Saat lomba dilaksanakan, kami menunggu dengan cemas hasilnya. Dan saat yang dinantikan itu akhirnya tiba. Tak disangka oleh semuanya, al-akh itu menang di posisi pertama atau kedua. Hasil itu benar-benar menghebohkan seluruh kampus, karena disamping dia bukan berasal dari organisasi pecinta alam, ternyata juga, banyak organisasi pecinta alam yang tak sampai di finish karena jauhnya jarak perjalanan. Atau masuk ke finish di urutan belakang. Saya penasaran dengan al-akh itu, kenapa ia bisa masuk finish dan menjadi juara perlombaan. Waktu saya tanya rahasianya, al-akh itu menjawab dengan jawaban penuh makna; perjalanan lomba itu memang begitu jauh dan tak kelihatan ujungnya. Dan karena jauh itu, al-akh itu mensiasatinya dengan memastikan dua hal. Yang pertama, ia memastikan bahwa ritme kakinya harus selalu stabil dan konstan, dengan senantiasa memperhatikan jarak langkah kaki. Yang kedua, ia memastikan bahwa selangkah di depannya tak ada lubang atau halangan lain. Ia tak pernah melihat jalan membentang di depan mata. Ia hanya fokus melihat gerakan langkah kaki dan jalan di depan kakinya”.
Ada peristiwa lain yang aku alami bersama beliau yang menjadi renungan bagiku tentang sifat pantang menyerahnya. Tahun 2010 akhir, saat aku mengikuti kemah kader, aku kebetulan mengikuti dan bergabung menjadi satu kelompok bersama beliau. Dalam sesi permainan perebutan bendera antar kelompok, aku mendapati bahwa beliau termasuk orang yang paling “ngotot”. Di akhir acara, saat kami harus menempuh long march sebagai sesi wajib bagi peserta, beliau memaksa ikut kepada panitia. Padahal jarak perjalanan yang harus kami lalui sepanjang empat puluh kilo meter. Beliau sempat mengeluh sakit dan terseok-seok. Waktu itu, beliau sudah mengalami stroke yang pertama, dan salah satu telapak kakinya baru sembuh usai operasi karena tulangnya patah. Tapi beliau begitu mengagumkan. Karena beliau menikmati longmarch itu dengan melontarkan guyonan, cerita-cerita dan senyuman di sepanjang jalan. Berkali-kali aku menyarankan untuk istirahat, tapi beliau menolaknya. Bahkan wajahnya kadang membesi jika di larang.
Begitulah beliau dan kesan yang mengindah di hatiku tentang pribadi beliau. Aku yakin, banyak ikhwah yang mendapatkan kesan berbeda tentang beliau. Tapi buhulnya pasti hanya satu; keteladanan da’wah. Beliau salah satu generasi mujahid da’wah yang dengan izin Allah dan melalui perantaranya-lah, lahir ribuan jiwa-jiwa tangguh yang memakmurkan bumi Allah di Indonesia dan Kalimantan Timur dengan kalimat kebenaran dan kedamaian hati. Melalui perantara kata-kata beliau pula-lah, banyak hati terpesona, takluk, tergugah, bangkit dan merapat berbaris di jama’ah da’wah.
Tubuhnya mungkin begitu lelah dan menyenja. Tapi hati dan jiwanya seperti pedang terhunus yang tetap mengkilat di medan laga. Dan sekali lagi, setiap orang yang pernah mengenalnya atau bertutur sapa dengannya pasti akan mendapatkan kesan yang sama; nasihat kehidupan yang begitu dalam dan komitmen di jalan kebenaran yang tidak tergoyahkan. Dan aku tak mau hidup hanya untuk jadi pengenang kebaikan beliau, lalu menulisnya hanya di prasasti hati banyak manusia. Tapi aku sungguh ber ‘azzam untuk berdiri demi melihat jiwanya, mengaguminya, menaburkan benih ketulusan yang beliau miliki di hati banyak pejuang lalu berusaha sekuat tenaga mengikuti jejaknya, menjadi pengganti peran-peran mulianya; membangun peradaban.
Hari-hari ini, aku banyak melafalkan do’a. Do’a yang kulantunkan dengan tangis di penghujung malam; “Allahummasyfi Li Ustadz Nurhuda Trisula, Allahummanshurhu warhamhu wabarik lahu ya Allah. Antas syaafi Laa syifaa’an illaa syifaa’uka syifaa’an Laa yughadiru saqama. Bismillahi nawakkalna alaLLahi laa haula walaa quwwata ilaa biLlahi. Amiin”.
Ya Illahi, izinkanlah muassis tangguh itu hadir kembali membersamai kami yang belia ini.