Jakarta (9/8) - Pengamat Politik dari
Universitas Jayabaya Igor Dirgantara mengungkapkan setelah hasil Pilpres
2014 disampaikan oleh KPU pada Selasa, 22 Juli 2014, kewenangan KPU
sebagai proses politik dari Pilpres berakhir. Kewenangan sekarang berada
di MK sebagai proses hukum karena ada gugatan dari pasangan
Prabowo-Hatta pada Rabu, 6 Agustus lalu yang menolak keputusan KPU.
“Publik perlu memahami, perkara Pilpres bukan hanya soal selisih
perolehan suara saja, tetapi juga koreksi atas penyelenggaraan pemilu
demi mencapai keadilan berdemokrasi. Yang terpenting jalurnya
konstitusional. Apalagi dukungan 47 persen suara rakyat terhadap
Prabowo-Hatta di Pilpres secara politik bukan jumlah yang kecil,” ujar
Igor di Jakarta, Sabtu (9/8).
Dikatakan Igor, Pemilu tanpa demokrasi mungkin saja terjadi seperti di masa Orde Baru, tetapi demokrasi tanpa pemilu adalah mustahil. Dia mengungkapkan, Pemilu adalah substansi demokrasi atas adanya partisipasi politik, tetapi salah satu syarat pemilu disebut demokratis adalah jika para penyelenggara pemilu itu independen dari kepentingan politik dan kecurangan. “Yang ini menyangkut prosedur berdemokrasi. Di sinilah signifikansi dari peran Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu atau DKPP. Karena apa artinya partisipasi politik tinggi, tapi potensi kecurangan juga meningkat,” sambungnya.
Igor menekankan bahwa kita jangan hanya bangga sebagai bangsa yang tergolong demokratis di dunia, tapi menutup mata terhadap gejala praktek kecurangan, korupsi, atau intoleransi. Pemilu yang berlangsung aman dan damai punya nilai lebih, tetapi dia berpendapat sekarang saatnya praktek kecurangan harus lebih diperhatikan di bangsa ini.
“Setidaknya ada dua kecurangan yang perlu dibuktikan dalam Pilpres 2014. Pertama, kecurangan kualitatif, seperti pemilih yang tidak memenuhi syarat atau masalah DPKtb. Dan, yang kedua kecurangan kuantitatif, seperti penggelembungan suara atau pengurangan suara para kandidat," ungkap Igor.
"Jika nanti dalam sidang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) di MK kecurangan pemilu itu terbukti dari bukti dan kesaksian yang valid, keadilan harus bisa diwujudkan, apapun bentuknya. ," tutup dosen Universitas Jayabaya tersebut.
Dikatakan Igor, Pemilu tanpa demokrasi mungkin saja terjadi seperti di masa Orde Baru, tetapi demokrasi tanpa pemilu adalah mustahil. Dia mengungkapkan, Pemilu adalah substansi demokrasi atas adanya partisipasi politik, tetapi salah satu syarat pemilu disebut demokratis adalah jika para penyelenggara pemilu itu independen dari kepentingan politik dan kecurangan. “Yang ini menyangkut prosedur berdemokrasi. Di sinilah signifikansi dari peran Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu atau DKPP. Karena apa artinya partisipasi politik tinggi, tapi potensi kecurangan juga meningkat,” sambungnya.
Igor menekankan bahwa kita jangan hanya bangga sebagai bangsa yang tergolong demokratis di dunia, tapi menutup mata terhadap gejala praktek kecurangan, korupsi, atau intoleransi. Pemilu yang berlangsung aman dan damai punya nilai lebih, tetapi dia berpendapat sekarang saatnya praktek kecurangan harus lebih diperhatikan di bangsa ini.
“Setidaknya ada dua kecurangan yang perlu dibuktikan dalam Pilpres 2014. Pertama, kecurangan kualitatif, seperti pemilih yang tidak memenuhi syarat atau masalah DPKtb. Dan, yang kedua kecurangan kuantitatif, seperti penggelembungan suara atau pengurangan suara para kandidat," ungkap Igor.
"Jika nanti dalam sidang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) di MK kecurangan pemilu itu terbukti dari bukti dan kesaksian yang valid, keadilan harus bisa diwujudkan, apapun bentuknya. ," tutup dosen Universitas Jayabaya tersebut.
Sumber: pks.or.id