“Huh, lagi-lagi begini. Kapan sih aku hidup bahagia?”
Mungkin tak sedikit dari kita yang suka mengeluhkan cobaan yang
datang dari Allah. Tidak mau bersabar dengan bentuk ujian dari Allah
bahkan sampai menyalahkan takdir Allah serta tidak mengakui nikmat yang
Allah berikan. Orang-orang yang tidak mau mengakui bahwa sebenarnya ia
pernah merasakan kebahagiaan namun mengingkarinya seperti kalimat
pembuka di atas.
Untuk belajar bagaimana makna kesabaran ada baiknya kita menyimak
kisah dari sahabat mulia Ammar bin Yasir radhiyallahuanhuma. Siapa tak
mengenal Ammar bin Yasir? Beliau adalah salah satu imam besar dan salah satu sahabat Rasulullah SAW yang termasuk dalam golongan Assabiqunal Awwalun, yakni orang-orang yang pertama kali masuk islam.
Ayahnya bernama Yasir bin Amir dan Ibunya bernama Sumayyah binti
Kubbath. Ayah dan Ibunya adalah orang pertama dan kedua yang menjemput
kesyahidan ketika mempertahankan keimanan mereka karena siksaan kafir
Quraisy. Kesabaran dan ketabahan yang luar biasa dari mereka mungkin
tidak bisa dibayangkan oleh orang-orang di zaman para sahabat apalagi
umat Islam pada zaman sekarang ini.
Semenjak keislamannya diketahui oleh orang-orang kafir Quraisy,
keluarga Amar bin Yasir tak luput dari penganiayaan dan penyiksaan.
Mereka diseret keluar menuju tanah lapang oleh kaum musyrikin yang
dipimpin oleh Abu Jahal di siang hari yang panas dan menyengat. Mereka
disiksa dicambuk hingga punggung mereka berdarah-darah. Lebih dari itu
mereka disiksa dengan besi panas ditempelkan ke dadanya. Hingga sang
ayah, Yasir bin Amir menjemput kesyahidan dalam siksaan tersebut.
Sedangkan ibunya Sumayyah binti Kubbath ditusuk oleh Abu Jahal pada
kemaluannya dengan tombak hingga meninggal dunia.
Setelah itu kaum musyrikin tak henti-hentinya menyiksa Ammar dengan
menjemurnya, meletakan batu besar panas di atas dadanya hingga
penderitaan yang amat sangat dan hilang kesadaran akalnya. Kala itu
mereka berkata kepadanya, “Kami akan terus menyiksamu hingga engkau
mencaci Muhammad atau mengatakan sesuatu yang baik terhadap Lata dan
Uzza”. Maka, dia pun dengan terpaksa menyetujui hal tersebut. Setelah
kejadian itu, dia mendatangi Rasulullah SAW sambil menangis dan meminta
maaf atas hal tersebut kepada beliau. Ketika itu turunlah ayat;
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia
mendapatkan kemurkaan dari Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir pada
hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)..” (QS. An-Nahl :
106)
Diriwayatkan dari Utsman, dia berkata, Rasulullah SAW bersabda,
“Bersabarlah seperti kesabaran keluarga Yasir, karena yang dijanjikan
kepada kalian adalah surga.”
Apakah kita pantas mengeluh kepada Allah
atas musibah yang menimpa kita, yang jauh lebih ringan dibandingkan
penderitaan dan siksaan yang pernah dialami oleh keluarga Ammar bin
Yasir? Bahkan sebagian dari saudara kita yang mengaku kaum muslimin
justru ketika mengalami kesusahan mereka mendatangi dukun-dukun, meminta
jimat-jimat yang sama sekali tidak akan mendatangkan manfaat bagi
mereka.
Ketika kita menerima sebuah ujian dan
cobaan hidup hendaklah kita mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dan
senantiasa bersabar menjalaninya. Sesungguhnya Allah tidak akan
memberikan ujian dan cobaan yg melebihi kekuatan hambaNya.
“Maka sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Sungguh bersama kesulitan itu ada kemudahan” (QS. Al Insyiroh ayat 6-7)
Apabila kita sedang dilanda kesulitan dan kegelisahan maka kita
dianjurkan memperbanyak doa seperti yang diajarkan oleh Rosulullah SAW
berdasarkan hadits berikut
Rasulullah SAW memperbanyak do’a: “Ya Alloh, aku berlindung kepadaMu
dari kegelisahan dan kesedihan, dari kelemahan dan kemalas-an, dari
sifat pengecut dan bakhil serta dari tidak mampu membayar hutang dan
dari penguasaan orang lain.” (HR. Al-Bukhari).
Sumber: http://www.fimadani.com/masih-pantaskah-kita-mengeluh/